Monday, October 29, 2012

Kemampuan Berbahasa = Indikator Kecerdasan?


Sore ini (28/10) saya mengikuti sebuah acara di kampus, Ganesa Merangkai Titik Temu (GMTT). Sekadar informasi, ini adalah pertama kalinya saya mengikuti acara semacam ini yang diadakan terpusat oleh KM ITB. Diminta untuk menemani Aida Roselina, Kabid Eksternal PSTK, saya akhirnya turut serta sebagai perwakilan unit PSTK. Kegiatan ini konon merupakan salah satu acara yang bertujuan agar massa kampus menjadi semakin antusias pada gerakan-gerakan KM ITB. Anstusiasme tersebut ditunjukan dengan adanya saling mengapresiasi, berpartisipasi, dan atau berkonstribusi pada gerakan-gerakan tiap gerakan-gerakan tiap elemen KM ITB. Dua kalimat ini saya kutip langsung dari kertas materi seminar (ya menurut saya acara ini lebih mirip seminar). Peserta dibagi menjadi beberapa kelompok, di tiap meja ada sejumlah perwakilan dari Unit Kegiatan Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Jurusan. Meskipun sudah diatur demikian, tujuan untuk saling mengapresiasi dst. sepertinya tidak tercapai. Kegiatan ini hanya mengubah format acara, tempat, suasana, dan ada makan malam (ini juga yang membuat saya ikut) dari forum silaturahmi biasanya.

Sebelumnya saya berpikir, mengapa ada acara di kampus yang dibuat di hai minggu, pas libur panjang lagi (Idul Adha). Namun, baru teringat sejenak setelah salah seorang pemateri mengingatkan bahwa hari ini, 28 Oktober tepat 84 tahun lalu pemuda dari seluruh pelosok tanah air mengikrarkan satu sumpah, yang hingga kini dikenal sebagi Sumpah Pemuda. Rupanya acara GMTT ini memang membarengi Hari Sumpah Pemuda. Isi sumpah yang ketiga, kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Saya sendiri agak tergelitik dengan beberapa pemateri yang notabene Menteri Koordinator di Kabinet KM ITB. Salah satu pemateri di awal presentasinya bahkan didahului dengan mengingat sumpah pemuda ini, sementara dalam slide presentasinya hampir penuh menggunakan Bahasa Inggris. Bukan menutup dari bahasa asing, bahasa internasional namun ketika bahasa digunakan dalam konteks yang tidak semestinya tentu akan membuat janggal. Silahkan saja kalau ingin memakai bahasa Inggris, tetapi sekalian saja semua pemaparan menggunakan bahasa Inggris. Jangan campur-campur, bukankan itu justru menunjukan ketidakkonsistenan terhadapa sesuatu. Di hari sumpah pemuda yang mestinya mengingat dan menerapkan isinya, justru malah sebaliknya mencederai sumpah itu sendiri. Mungkin agak berlebihan bila menyambungkan hal kecil seperti ini dengan susuatu yang besar, semangat nasionalisme pemuda.

Kembali menyambung ke judul, bahasa sebagai sarana komunikasi di masyarakat merupakan salah satu simbol kemajuan berpikir, kecerdasan, dan peradaban manusia sebagai makhluk sosial. Kemampuan dan keterampilan dalam berbahasa serta berkomunikasi menunjukan seberapa cerdas dan beradab seorang manusia. Pernyataan bahwa kemampuan berbahasa sebanding dengan kecerdasan seseorang boleh saja saya utarakan. Walaupun ini hanyalah sebuah pendapat tanpa riset dan data ilmiah, ada alasan rasional yang dapat saya gunakan untuk mendukungnya. Kecerdasan berkaitan dengan ketajaman pikiran, mengerti, memahami, dan menerapkan sesuatu. Tentu ada korelasi antara kemampuan bahasa dengan kecerdasan. Bahasa memiliki aturan susunan, pemilihan kata, dan juga konteks kata. Kecerdasan untuk memahami aturan bahasa serta menempatkan kata dalam konteksnya dapat saya sebut sebagai wujud kecerdasan seseorang dalam memahami dan menerapkan sesuatu. Oleh karenanya tidak salah bila saya menyatakan bahwa kemampuan berbahasa seseorang merupakan representasi dari kecerdasannya.

Mengaitkan kecerdasan berbahasa dengan realitas di lapangan, entah mengapa istilah atau nama untuk nama acara, hotel, pusat perbelanjaan, apartemen, perumahan, dan segala bentuk jenis usaha akan terlihat lebih menarik dan menjual bila menggunakan istilah yang keinggris-inggrisan. Hal ini dapat juga berkaitan dengan karakter masyarakat kita yang secara umum lebih berkiblat dan mendewakan Barat. Jadi segala hal yang berbau barat akan lebih meningkatkan gengsi atau prestise seseorang. Bukti lain yang mendukung adalah lebih suka dan tertariknya masyrakat kita terhadap produk impor. Suatu ketika dosen saya bercerita bahwa salah seorang rekannya bahkan harus mengekspor terlebih dahulu produk dari perusahaanya, untuk kemudian diimpor dan kemudian baru dijual ke konsumen dengan menambahi embel-embel impor pada barang ini. Ini tentu dilakukan untuk meningkatkan nilai jual produknya, karena bila dijual langsung akan kurang menarik konsumen.

Terlepas dari kecenderungan terhadap segala hal yang berbau asing, kelatahan ini juga telah menjamur kalangan pemuda kita. Generasi muda (mahasiswa dsb.) dalam berkomunikasi akan sangat kental terlihat pengaruh bahasa Inggrisnya terlebih saat berkomunikasi lisan. Hal ini menjadi penting ketika kita berbicara atau memaparkan sesuatu hal dalam forum resmi atau ilmiah. Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa resmi dan sebagai bahasa pengantar ilmiah, ilmu pengetahuan dan teknologi, telah kehilangan pamornya. Berbicara menggunakan istilah asing yang sebenarnya sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia sudah jamak terjadi. Menurut pendapat saya, generasi muda menggunakan istilah asing dalam forum resmi akan merasa lebih keren, jago, dan terlihat pintar. Namun bagi saya pencampuradukan bahasa justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Seseorang terkesan tidak profesional, dan tidak terlihat kecerdasaannya dalam menaati aturan dan menempatkan seseuatu (kata) pada konteksnya. Hal ini akan sama saja dengan pemuda-pemuda “alay” yang dengan kreativitasnya, dan seenaknya merusak bahasa.

Di akhir tulisan ini, saya dapat menyimpulkan bahwa memang kemampuan seseorang dalam berbahasa berbanding lurus dengan tingkat kecerdasannya. Menggunakan dan menempatakn sesuatu pada tempat yang semestinya adalah indikator kecerdasan itu. Di waktu yang berdekatan dengan peringatan Sumpah Pemuda ini, udah semestinya kita sebagai generasi muda mau dan bisa menghargai bangsa sendiri. Salah satunya dengan menggunakan bahasa (baik bahasa ibu, nasional, maupun asing) pada porsi dan tempatnya. Semua ini tentu juga berlaku untuk penulis yang masih ikut latah dan keceplosan mencampuradukan bahasa.


Menulis itu (tidak) mudah (?)