Sore ini (28/10) saya
mengikuti sebuah acara di kampus, Ganesa Merangkai Titik Temu (GMTT). Sekadar
informasi, ini adalah pertama kalinya saya mengikuti acara semacam ini yang diadakan
terpusat oleh KM ITB. Diminta untuk menemani Aida Roselina, Kabid Eksternal
PSTK, saya akhirnya turut serta sebagai perwakilan unit PSTK. Kegiatan ini
konon merupakan salah satu acara yang bertujuan agar massa kampus menjadi
semakin antusias pada gerakan-gerakan
KM ITB. Anstusiasme tersebut ditunjukan dengan adanya saling mengapresiasi, berpartisipasi, dan atau berkonstribusi pada gerakan-gerakan tiap
gerakan-gerakan tiap elemen KM ITB. Dua kalimat ini saya kutip langsung dari
kertas materi seminar (ya menurut saya acara ini lebih mirip seminar). Peserta
dibagi menjadi beberapa kelompok, di tiap meja ada sejumlah perwakilan dari
Unit Kegiatan Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Jurusan. Meskipun sudah diatur demikian,
tujuan untuk saling mengapresiasi dst. sepertinya tidak tercapai. Kegiatan ini
hanya mengubah format acara, tempat, suasana, dan ada makan malam (ini juga
yang membuat saya ikut) dari forum silaturahmi biasanya.
Sebelumnya saya berpikir, mengapa
ada acara di kampus yang dibuat di hai minggu, pas libur panjang lagi (Idul
Adha). Namun, baru teringat sejenak setelah salah seorang pemateri mengingatkan
bahwa hari ini, 28 Oktober tepat 84 tahun lalu pemuda dari seluruh pelosok
tanah air mengikrarkan satu sumpah, yang hingga kini dikenal sebagi Sumpah
Pemuda. Rupanya acara GMTT ini memang membarengi Hari Sumpah Pemuda. Isi sumpah
yang ketiga, kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan,
Bahasa Indonesia.
Saya sendiri agak tergelitik dengan
beberapa pemateri yang notabene Menteri Koordinator di Kabinet KM ITB. Salah
satu pemateri di awal presentasinya bahkan didahului dengan mengingat sumpah
pemuda ini, sementara dalam slide presentasinya
hampir penuh menggunakan Bahasa Inggris. Bukan menutup dari bahasa asing,
bahasa internasional namun ketika bahasa digunakan dalam konteks yang tidak
semestinya tentu akan membuat janggal. Silahkan saja kalau ingin memakai bahasa
Inggris, tetapi sekalian saja semua pemaparan menggunakan bahasa Inggris.
Jangan campur-campur, bukankan itu justru menunjukan ketidakkonsistenan
terhadapa sesuatu. Di hari sumpah pemuda yang mestinya mengingat dan menerapkan
isinya, justru malah sebaliknya mencederai sumpah itu sendiri. Mungkin agak
berlebihan bila menyambungkan hal kecil seperti ini dengan susuatu yang besar,
semangat nasionalisme pemuda.
Kembali menyambung ke judul, bahasa
sebagai sarana komunikasi di masyarakat merupakan salah satu simbol kemajuan
berpikir, kecerdasan, dan peradaban manusia sebagai makhluk sosial. Kemampuan
dan keterampilan dalam berbahasa serta berkomunikasi menunjukan seberapa cerdas
dan beradab seorang manusia. Pernyataan bahwa kemampuan berbahasa sebanding
dengan kecerdasan seseorang boleh saja saya utarakan. Walaupun ini hanyalah
sebuah pendapat tanpa riset dan data ilmiah, ada alasan rasional yang dapat
saya gunakan untuk mendukungnya. Kecerdasan berkaitan dengan ketajaman pikiran,
mengerti, memahami, dan menerapkan sesuatu. Tentu ada korelasi antara kemampuan
bahasa dengan kecerdasan. Bahasa memiliki aturan susunan, pemilihan kata, dan
juga konteks kata. Kecerdasan untuk memahami aturan bahasa serta menempatkan
kata dalam konteksnya dapat saya sebut sebagai wujud kecerdasan seseorang dalam
memahami dan menerapkan sesuatu. Oleh karenanya tidak salah bila saya menyatakan
bahwa kemampuan berbahasa seseorang merupakan representasi dari kecerdasannya.
Mengaitkan kecerdasan berbahasa dengan
realitas di lapangan, entah mengapa istilah atau nama untuk nama acara, hotel,
pusat perbelanjaan, apartemen, perumahan, dan segala bentuk jenis usaha akan
terlihat lebih menarik dan menjual bila menggunakan istilah yang
keinggris-inggrisan. Hal ini dapat juga berkaitan dengan karakter masyarakat kita
yang secara umum lebih berkiblat dan mendewakan Barat. Jadi segala hal yang
berbau barat akan lebih meningkatkan gengsi atau prestise seseorang. Bukti lain
yang mendukung adalah lebih suka dan tertariknya masyrakat kita terhadap produk
impor. Suatu ketika dosen saya bercerita bahwa salah seorang rekannya bahkan
harus mengekspor terlebih dahulu produk dari perusahaanya, untuk kemudian
diimpor dan kemudian baru dijual ke konsumen dengan menambahi embel-embel impor
pada barang ini. Ini tentu dilakukan untuk meningkatkan nilai jual produknya,
karena bila dijual langsung akan kurang menarik konsumen.
Terlepas dari kecenderungan terhadap
segala hal yang berbau asing, kelatahan ini juga telah menjamur kalangan pemuda
kita. Generasi muda (mahasiswa dsb.) dalam berkomunikasi akan sangat kental
terlihat pengaruh bahasa Inggrisnya terlebih saat berkomunikasi lisan. Hal ini
menjadi penting ketika kita berbicara atau memaparkan sesuatu hal dalam forum
resmi atau ilmiah. Bahasa Indonesia yang merupakan bahasa resmi dan sebagai
bahasa pengantar ilmiah, ilmu pengetahuan dan teknologi, telah kehilangan
pamornya. Berbicara menggunakan istilah asing yang sebenarnya sudah ada
padanannya dalam bahasa Indonesia sudah jamak terjadi. Menurut pendapat saya,
generasi muda menggunakan istilah asing dalam forum resmi akan merasa lebih keren, jago, dan terlihat pintar. Namun
bagi saya pencampuradukan bahasa justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Seseorang
terkesan tidak profesional, dan tidak terlihat kecerdasaannya dalam menaati
aturan dan menempatkan seseuatu (kata) pada konteksnya. Hal ini akan sama saja
dengan pemuda-pemuda “alay” yang dengan kreativitasnya, dan seenaknya merusak
bahasa.
Di akhir tulisan ini, saya dapat
menyimpulkan bahwa memang kemampuan seseorang dalam berbahasa berbanding lurus
dengan tingkat kecerdasannya. Menggunakan dan menempatakn sesuatu pada tempat
yang semestinya adalah indikator kecerdasan itu. Di waktu yang berdekatan dengan
peringatan Sumpah Pemuda ini, udah semestinya kita sebagai generasi muda mau
dan bisa menghargai bangsa sendiri. Salah satunya dengan menggunakan bahasa
(baik bahasa ibu, nasional, maupun asing) pada porsi dan tempatnya. Semua ini tentu juga berlaku untuk penulis yang masih ikut latah dan keceplosan mencampuradukan bahasa.