Monday, June 24, 2013

Konsep Dasar Karawitan I (bagian-5)

disarikan dari buku- Bothekan Karawitan I, Rahayu Supanggah-2002

E.     Irama

Satu lagi unsur musikal terpenting dalam karawitan Jawa adalah irama atau wirama. Ada sejumlah pengertian mengenai irama. Pertama dalam konteks ruang, irama dapat dimaknai sebagai pelebaran dan penyempitan gatra. Menurut Martapengrawit ada lima (atau enam) jenis irama yaitu gropak, lancar, tanggung, dados, wiled, dan rangkep. Untuk mengidentifikasikannya, digunakan sabetan (pukulan) ricikan saron penerus setiap gatranya. Untuk irama lancar, satu sabetan balungan mendapat satu sabetan saron penerus, diberi tanda dengan 1/1. Dalam satu gatra irama lancar, sabetan saron penerus ada empat kali/ hitungan. Sementara irama tanggung, satu sabetan balungan sebanding dengan dua sabetan saron panerus, tandanya ½. Begitu seterusnya untuk irama dadi ¼, irama wiled 1/8, dan rangkep 1/16. Namun masih ada keraguan terkait apakah gropak dan rangkep masuk kategori irama atau dalam jenis garap.
Pengertian irama dalam konteks waktu, dikenalkan juga dengan istilah laya atau tempo. Dalam dunia karawitan Jawa, sering diidentifikasi waktu perjalanan gendhing, balungan, atau lagu menjadi tiga tingkatan yaitu:
a.       Tamban, atau disebut juga alon untuk tempo lambat,
b.      Sedheng, untuk tempo sedang, dan
c.       Seseg,  untuk tempo cepat.
Dalam suatu penyajian karawitan Jawa, perubahan irama merupakan salah satu bentuk ekspresi baik bagi pengrawit maupun gendhing sendiri. Perubahan tingkatan irama (ruang) hampir selalu diawali atau ditandai dengan perubahan irama (laya) yang berjalan dengan cara semakin, sedikit-sedikit atau gradual. Perubahannya tidaklah drastis, tiba-tiba atau nyengklang. Sementara ketika terjadi perubahan laya, belum tentu diikuti oleh atau akan terjadi perubahan irama (dalam konteks ruang).
Irama (ruang) dalam penyajian gendhing sangat mempengaruhi permainan cengkok dari ricikan gamelan. Setiap ada pergantian irama tentu akan ada pergantian cengkok (gender, rebab, bonang, gambang, siter, dan semua ricikan garap). Cengkokan maupun wiledan dari suatu ricikan sangat bergantung pada irama dan tentunya dari pengrawit sendiri. Ada kecenderungan pada para pengrawit untuk memilih wiledan yang rumit (kompleks) bila gendhing atau lagu disajikan dalam laya seseg dan wiledan yang sederhana serta hati-hati dalam laya yang tamban. Hal ini juga sebagai salah satu alasan untuk menggarap gendhing yang bersifat wibawa, sedih, serius dan semacamnya dengan laya tamban. Sementara untuk menggarap gendhing yang sifatnya sigrak, gobyog, lucu dan sejenisnya dipilih irama seseg. Terkadang juga ada korelasi antar laya dengan volume tabuhannya, laya tamban cenderung menggunakan tabuhan lirih dan seseg dengan tabuhan yang keras.

Kepemimpinan
Irama merupakan nafas dari gendhing, irama juga menjadikan sebuah gendhing atau lagu menjadi hidup. Dalam karawitan, pemimpin irama adalah kendhang. Dengan demikian kendhang bertanggung jawab dalam mengatur nafas gendhing sekaligus memberi kehidupan terhadap gendhing atau karawitan. Dalam mengemban tugas ini, kendhang bekerja sama dengan rebab. Pada tradisi karawitan, rebab disebut sebagai pamurba yatmaka, pemimpin jiwa, roh spiritual gendhing/karawitan. Rebab adalah jiwa dari gendhing. Kendhang lebih berurusan dengan aspek lahir dari gendhing yang menyangkut dengan dinamika dan rasa gendhing. Sementara rebab berurusan dengan aspek jiwa atau roh gendhing, karakter atau watak gendhing. Peran tersebut terutama bagi kendhang sangat jelas ketika penyajian karawitan dalam hubungannya dengan cabang seni lain tari, teater, atau wayang. Fungsi karawitan adalah untuk menghidupkan tarian dan wayang bukan sekadar mengiringinya.
Kepemimpinan penyajian musik dalam orkes musik Barat cenderung menonjolkan sisi komunikasi visual antara pemain dan pemimpin (konduktor). Dalam memimpin konduktor menggunakan kode-kode visual dengan gerakan tangan untuk mengkoordinasikan tim dalam menyajikan permainan musiknya. Konduktor memiliki hak dan kewajiban untuk menuntut setiap musisi agar memainkan instrumennya sampai memenuhi tingkatan tertentu. Tingkatan tersebut sesuai dengan interpretasinya terhadap suatu komposisi musik maupun karakter komponis.
Sementara kendhang sebagai pamurba irama, dalam memimpin rekan-rekannya, ia lebih berperan menjadi pamong, moderator, atau penyelaras. Ia tak sekadar memimpin dari luar lapangan dengan aba-aba visualnya, tetapi ia ikut bermain di dalamnya. Sebagai pemimpin ia harus memberi contoh bagi rekan-rekannya. Contoh tersebut misalnya dalam hal volume tabuhan, seberapa rumit pola tabuhan/ garap dan seberapa cepat irama yang dipilihnya. Dalam sajian karawitan Jawa, tidak dibenarkan untuk nyilep (menenggelamkan) tabuhan dari ricikan lainnya, apalagi terhadap kendhang. Tidak juga dikenal tradisi show-up atau penonjolan diri dalam karawitan tradisi.
Kendhang memimpin sejak sajian dimulai hingga berhenti, bertanggung jawab atas kerampakan dan kerempegan tabuhan. Konsep tersebut bukan sekadar rata atau sama dalam kekerasan atau kecepatan, namun juga mengenai kerjasama dan kebersamaan. Kedinamisan dalam penyajian karawitan ditentukan oleh masing-masing individu ricikan atau pengrawit. Hal ini ditentukan melalui diskusi musikal yang dimoderatori oleh kendhang dengan kode-kode musikalnya, permainan irama, wiled, maupun volume tabuhan kendhang. Ia pada suatu waktu dapat menjadi musisi sekaligus sebagai playmaker, bahkan sebagai jenderal lapangan. Namun ia tetap harus mampu sebagai moderator dan pamomong (pengasuh sekaligus teladan) dengan ikut bermain sambil memperhatikan kapasitas, kemampuan, dan keterampilan pengrawit-pengrawit rekan bermainnya. Selain itu, kendhang juga harus bertanggung jawab atas kerampakan tabuhan, melihat konteksnya: tempat, fungsi, waktu, dan guna, pada saat penyajian karawitan dilakukan.

Saturday, June 22, 2013

Konsep Dasar Karawitan I (bagian-4)

disarikan dari buku- Bothekan Karawitan I, Rahayu Supanggah-2002


D.     Laras

Laras (tangga nada) dan irama merupakan dua unsur musikal terpenting dalam  karawitan Jawa. Laras yang digunakan adalah laras pentatonis slendro dan pelog. Dari berbagai unsur musikalitas yang ada, nampaknya orang jauh lebih mudah untuk mengidentifikasi asal suatu musik lewat larasnya. Orang dengan cepat dan berani menyebut musik bangsa tertentu China, Arab, India, Barat ataupun Bali hanya lewat tangga nada yang digunakan, sebelum mengidentifikasi melalui instrumen atau ritme musik yang digunakan.
Laras dalam dunia karawitan Jawa dapat bermakna jamak. Paling tidak ada tiga makna penting yang dapat diidentifikasikan:
a.       Laras bermakna sesuatu yang bersifat enak atau nikmat untuk didengar atau dihayati.
b.   Makna sebagai nada, yaitu suar yang telah ditentukan jumlah frekuensinya (penunggul, gulu, dhada, pelog, lima, nem, dan barang).
c.       Laras bermakna tangga nada atau scale, yaitu susunan nada yang jumlah, urutan, dan pola interval nada-nadanya telah ditentukan.

Seperti diketahui bahwa dalam karawitan Jawa dikenal dua laras utama yang digunakan, yaitu:
a.       Slendro
Sistem urutan nada-nada terdiri dari lima nada dalam satu gembyang dengan pola jarak yang hampir sama rata. Susunan dan pola interval itu diatur sebagai berikut:
I ..... II ..... III ..... IV ..... V ..... i
Sedangkan nada-nada yang digunakan dalam laras slendro adalah:
1.       Penunggul,  sering juga disebut dengan barang, diberi simbol 1, dibaca siji atau ji.
2.       Gulu atau jangga, diberi simbol 2, dibaca loro atau ro.
3.       Dhada/jaja/tengah, disimbolkan dengan 3, dibaca telu/lu.
4.       Lima, diberi simbol 5, dibaca lima/ ma.
5.       Nem, dengan simbol 6, dibaca nem.
Selain lima nada pokok di atas, ada beberapa nama tambahan yang juga sering disebut, seperti:
1.       Barang, merupakan nada gembyangan dari penunggul, disimbolkan dengan i (angka arab satu dengan titik di atasnya), dibaca siji atau ji.
2.       Manis, yaitu nada gembyangan gulu, diberi simbol angka dua dengan titik di atasnya. Manis hanya digunakan untuk laras kempul dan kenong.
b.    Pelog
Sistem urutan nada yang terdiri dari lima (atau tuju) nada dalam satu gembyang dengan menggunakan pola jarak nada yang tidak sama rata, yaitu tiga (atau lima) jarak dekat dan dua jarak jauh. Susunan dan pola interval diatur sebagai berikut, dengan struktur jarak: pendek, pendek, jauh, pendek, pendek, pendek, pendek, jauh.
I ..... II ..... III ............... IV ..... V ..... VI ..... VII ............... i
Banyak etnomusikolog yang mengelompokkan karawitan gamelan (Jawa, Sunda, Bali, dan beberapa lainnya di Asia Tenggara) berlaras pentatonis, bersistem lima nada. Demikian juga dengan laras pelog dimasukkan ke dalam sistem ini, walaupun pelog memiliki tujuh nada dalam larasannya. Namun menurut para musikolog ini, pada hakikatnya pelog hanya menggunakan lima dari tujuh nada yang terdapat dalam gamelan pelog. Petunjuk yang mendukung pernyataan tersebut adalah terdapatnya sejumlah ricikan gamelan pelog dalam perangkat gamelan Jawa yang hanya menggunakna lima nada, contohnya gender barung, gambang, dan siter.  Bila pelog dianggap sebagai laras pentatonik maka pola intervalnya adalah sebagai berikut:
I ..... II ..... III ............... IV ..... V............... i
Adanya dua anggapan yang berbeda, apakah pelog bernada tujuh atau lima sebenarnya bukanlah sebuah hal yang mesti dipermasalahkan. Bila merujuk pada repertoar gendhing Jawa (tradisi, klasik) dari buku Gendhing Jawa, karya Mloyowidodo, sekitar 80 persen gendhing yang berlaras pelog melibatkan keseluruhan tujuh nada. Dalam penyajiannya memang sering terdapat beberapa gendhing yang disajikan dalam laras pelog dengan hanya menggunakan lima nada saja. Hal ini terutama dalam kasus sajian gendhing pelog hasil alih laras dari slendro. Gendhing tersebut merupakan gendhing yang “aslinya” disajikan dalam laras slendro kemudian disajikan dalam laras pelog. Hal seperti ini merupakan suatu fenomena yang lumrah dalam praktik dunia karawitan Jawa.
Pemilihan dan penggunaan istilah laras oleh para pendahulu dalam dunia karawitan, nampaknya bukan suatu langkah yang dilakukan dengan tanpa dasar atau alasan. Laras yang berhubungan dengan rasa nikmat, nyamleng, masih merupakan salah satu tuntutan estetik yang diberlakukan dan dibutuhkan dalam suatu penyajian karawitan. Seimbang (selaras) dan nikmat adalah salah satu pilihan estetik yang terpenting dalam menyajikan karawitan. Fokus menikmati sajian karawitan yang dapat didengarkan dan dirasakan sembari leyeh-leyeh telah bergeser secara estetik terutama yang menyangkut pilihan tempo dan kedinamisan. Hal yang berkaitan dengan pergeseran selera estetik ini juga terlihat dari perangkat gamelan yang cenderung “menggelembung”, baik jumlah maupun ukuran ricikan sendiri. Dengan demikian suara yang keras, ramai, cepat, kontras, hingar-bingar, dan juga sajian karawitan yang bernuansa spektakuler semakin akrab dalam dunia karawitan. Peranan ricikan-ricikan garap yang bersuara lembut semakin berkurang, sementara garapan ricikan balungan, bonang, juga vokal semakin menonjol.
Laras sangat erat hubungannya dengan rasa, dan rasa berkaitan dengan selera. Pelarasan suatu gamelan pada umumnya disesuaikan dengan “selera” masyarakat tempat gamelan tersebut digunakan. Gamelan sengaja dilaras dengan larasan yang berbeda agar masyarakat mendapatkan karakter-karakter gamelan yang bervariasi dan kaya. Perbedaan karakter gamelan ini dapat menyebabkan suatu gamelan bisa sangat cocok atau tidak cocok untuk suatu keperluan tertentu. Ada gamelan yang cocok untuk wayangan, tapi tidak untuk klenengan, atau bahkan sangat cocok untuk memainkan gending slendro nem, namun kurang cocok untuk gendhing-gendhing slendro manyura.
Karakter gamelan dalam kaitannya dengan laras/larasan ditentukan oleh:
1.       Larasan (register, derah atau cakupan nada-nada yang digunakan dalam perangkat yang bersangkutan. Contoh larasan gamelan Yogya cenderung rendah, sementara pesisir lebih tinggi, artinya ada nada nem gamelan Yogya lebih rendah daripada nada nem gamelan pesisir. Nada nem biasanya digunakan untuk sebagai titik acuan untuk melaras keseluruhan ricikan dalam satu perangkat gamelan.
2.       Jangkah, istilah yang biasanya digunakan dalam dunia karawitan untuk menyebut interval, jarak antar nada yang satu dengan nada lainnya yang biasanya dapat diukur dengan satuan cent. Seperti sudah dijelaskan, bahwa antar nada yang berurutan mempunyai jarak tertentu, ada yang pendek ada yang jauh. Namun seberapa jauh jarak tersebut tidak ada angka yang pasti, semua bergantung pada selera si pembuat gamelan atau pemesan maupun daerah/budaya tertentu. Sampai sekarang masih belum dan semoga tidak akan ada standardisasi larasan gamelan, walau diskusi tentang itu telah banyak dilakukan. Variasi jangkah namun masih dalam konteks pola jangkah yang sama dalam pelarasan gamelan Jawa disebut dengan istilah embat.
Embat bisa disebut sebagai pergeseran nada-nada, memang agak sulit untuk ditangkap pemaknaannya. Penjelasan lain mengenai embat, merupakan suatu variasi pola jangkah dalam laras atau larasan gamelan. Konsep embat dapat bervariasi besarnya, bergantung pada gembyangan nadanya. Untuk gembyangan nada yang tinggi, selisih frekuensi nada akan semakin besar. Misalnya pada saron penerus, yang jika dimainkan sendiri mungkin akan terdengar blero atau fals, namun ketika sudah disajikan bersama instrumen lain akan terdengar enak. Gembyangan merupakan jenis nada yang sama dengan frekuensi yang lebih tinggi atau rendah. Satu gembyangan mengapit empat nada lainnya. Dalam konsep musik modern mungkin bisa dipadankan dengan oktaf, namun oktaf mengapit tujuh nada, dan jangkauan nadanya lebih besar dari jangkuan gembyang.
Untuk larasan ricikan yang gembyangnya rendah (di bawah gender), yaitu beberapa gong, ketepatan larasan tidak begitu dipermasalahkan. Dari nada gong yang ada, hanya nada 6 yang biasanya dituntut untuk pleng/pas. Hal yang dipentingkan dari sebuah gong ageng adalah kualitas suara yang mampu memberikan kesan dan tekanan yang mantap atau berwibawa ketika ditabuh. Dalam dunia karawitan, gong sangat diperlukan untuk memantapkan rasa seleh. Gong merupakan pemberi keputusan atau penyelesaian sebuah persoalan yang masih ngambang dan berulang datangnya. Selain itu gong juga diperlakukan sebagai tanda akhir dari sebuah perjalanan atau petualangan melodik dan ritmik sebuah gendhing. Oleh karena itu diperlukan suara yang besar, dalam, mantap, empuk, dan berwibawa.
Besarnya konsistensi masyarakat karawitan/Jawa untuk tetap mempertahankan sistem laras slendro dan pelog merupakan suatu fenomena tersendiri. Hal ini cukup unik, karena berbagai unsur atau aspek musik lainnya telah cukup banyak berubah, seperti tempo, dinamik, komposisi, instrumen, idiom, garap, fungsi, peran, dsb. Dewasa ini semakin banyak “usaha” untuk mencampurkan sistem nada ini dengan musik Barat yang memang bertangga nada diatonis, yang berujung pada semakin banyaknya gamelan yang berubah laras. Dari laras slendro/pelog ricikan gamelan diubah menjadi diatonis mengikuti tempered scale yang terbakukan.


Titilaras
Titilaras merupakan istilah yang digunakan di lingkungan karawitan untuk menyebut notasi, yaitu lambang yang mewakili tinggi dan harga laras (nada). Sampai sekarang, titilaras yang paling banyak digunakan adalah titik laras Kepatihan, notasi yang “diciptakan” pada tahun 20-an di Kepatihan Surakarta. Notasi ini mengadopsi angka Cheve yaitu menggunakan angka dari 1 sampai 7. Tinggi (besaran) angka menunjukkan tinggi nada, harga nada direpresentasikan oleh garis harga nada yang berwujud garis datar di atas angka. Setiap garis membagi dua dari harga sebuah nada. Semakin banyak garisnya berarti semakin pendek/sedikit harga nadanya. Wilayah gembyang ditandai dengan penempatan titik di atas atau di bawah nada. Tanda-tanda lainnya praktis mengadopsi notasi Cheve, kecuali untuk tanda-tanda permainan ricikan yang sifatnya sangat khusus. Tanda khusus misalnya arah kosokan rebab, tanda-tanda permainan ricikan struktural (kethuk-kempyang, kenong, kempul, gong, kendhang), ulangan, peralihan gendhing dsb.
Titilaras atau notasi dalam dunia karawitan Jawa merupakan sebuah fenomena yang relatif baru. Karawitan pada awalnya termasuk pada golongan kesenian musik tradisi lisan, dengan cara menyajikan dan penularannya dilakukan secara lisan. Tradisi lisan biasanya dilawankan dengan tradisi tulis. Dalam tradisi lisan lebih mengandalkan pada kemampuan indera pendengaran dalam penyajian, penyampaian, dan pembelajaran maupun penikmatan seni. Sementara tradisi tulis lebih menggunakan indera penglihatan.
Notasi karawitan baru lahir awal abad ke-20 dan penggunaannya masih terbatas sebagai alat pengingat atau pencatat yang sederhana. Sebagian besar notasi karawitan lama hanya digunakan oleh kalangan lokal bahkan pribadi saja, artinya hanya dimengerti oleh si pembuat catatan itu sendiri. Notasi-notasi karawitan yang dibuat dan digunakan sampai sekarang ini sesungguhnya lebih banyak tidak mencerminkan suara yang dinotasikan. Penggunaan notasi adalah contoh penemuan dan perubahan cara belajar karawitan yang paling fenomenal. Perubahan yang drastis adalah bergesernya pelatihan kepekaan telinga yang auditif (dasar tradisi oral) beralih ke pelatihan kepekaan mata atau visual (pondasi dari musik yang menganut tradisi tulis).

Notasi gendhing merupakan bentuk penyederhaan dari permainan ricikan yang sebenarnya. Penyederhanaan terutama pada ricikan garap yang kemudian disebut dengan berbagai istilah sebagai sekaran, pola, teknik, cengkok dsb. Notasi tersebut merupakan hasil “tangkapan” yang dituliskan dalam bentuk simbol-simbol dengan tulisan. Dalam proses belajar-mengajar, khususnya di institusi pendidikan notasi ini kemudian secara perlahan menjadi sebuah acuan yang “baku” yang sudah pasti. Hal yang menjadi masalah adalah proses yang membakukan notasi/ panduan permainan oleh lembaga yang berwenang karena kepraktisan dan keluwesannya. Semestinya notasi ini hanya menjadi batu loncatan para siswa agar dapat mengembangkan pola permainannya sendiri, dengan kreativitas yang dimilikinya. Pembakuan ini menjadikan penyeragaman dalam permainan/sajian  yang membatasi gaya dan garap karawitan. Pengembangan gaya dan garap karawitan sudah selayaknya bisa terus tumbuh, sehingga hasilnya dapat memperkaya dan memperindah taman bunga karawitan atau khazanah musik dunia kita.

Friday, June 21, 2013

Konsep Dasar Karawitan I (bagian-3)

disarikan dari buku- Bothekan Karawitan I, Rahayu Supanggah-2002


C.     Penempatan Ricikan Gamelan

Dalam penyajian sebuah gendhing karawitan, penempatan gamelan merupakan salah satu aspek yang cukup penting, walau memang bukan merupakan sebuah harga mati. Pengaturannya bisa sangat luwes/fleksibel bergantung pada pertimbangan fungsi/keperluan, tempat, dan ketersediaan ricikan maupun pengrawit. Pertimbangan utama adalah fungsi penyajian yaitu kapan dan untuk keperluan apa gamelan digunakan. Secara umum fungsi dapat dibagi menjadi dua yaitu mandiri dan untuk keperluan cabang seni lainnya.
Dalam penyajian karawitan secara mandiri, pertimbangan utama untuk penempatan ricikan adalah pertimbangan musikal, baik (terutama) untuk musisi sendiri juga untuk para penikmat, pendengar, atau penonton. Pertimbangan musikal merupakan bermacam kiat yang diambil oleh para seniman/ direktur artistik dalam upayanya untuk dapat memberikan sajian karawitan yang maksimal secara kualitas musikal.
Karawitan merupakan seni milik musik tradisi oral, dengan perkembangan kerja musikal para pengrawit lebih terjadi dalam bentuk komunikasi atau interaksi auditif. Oleh karena itu sangat penting untuk diperhatikan bahwa suara sajian tersebut harus dapat didengar oleh pelaku, yaitu pengrawit, seperti suara aslinya. Dengan absennya seorang konduktor visual dalam karawitan, komunikasi dan saling mendengar permainan ricikan rekannya adalah hal yang sangat penting. Untuk keperluan tersebut, bentuk umum yang disukai dalam penempatan gamelan adalah bujur sangkar atau persegi panjang yang tidak berbeda jauh panjang-panjang sisinya. Ukuran sekitar enam kali delapan meter merupakan ruang yang cukup ideal untuk penempatan gamelan ageng. Meskipun pertimbangan saling mendengar permainan antar pengrawit adalah hal yang utama, ada pula beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan dalam penempatan ricikan gamelan. Berikut ini adalah aspek-aspek yan =g sering dipertimbangkan
a.       Status
Walau dalam karawitan Jawa berlaku konsep kesetaraan dan kebersamaan, namun tidak dapat disangkal bahwa ada beberapa ricikan yang memiliki peran atau jabatan yang lebih tinggi dari ricikan lainnya. Pentingnya peran suatu ricikan dapat berubah menuruti jenis gendhing maupun penggunaan perangkat gamelan. Ricikan yang relatif penting biasanya juga mendapat tempat yang mudah dilihat atau didengar oleh rekan yang lain maupun penonton. Pesindhen, rebab, dan gender barung biasanya hampir selalu ditempatkan di bagian paling depan.
b.      Pasangan
Ada sejumlah ricikan yang secara tradisi dianggap sebagai pasangan atau keluarga ricikan tertentu. Istilah barung dan panerus, lanang dan wadon, alit dan ageng yang melekat pada ricikan secara tidak langsung menunjukkan hal tersebut. Penempatan para “pasangan” ini biasanya akan ditata pada tempat yang tidak berjauhan. Contoh bonang barung dan bonang panerus, gender barung-panerus, juga ricikan keluarga balungan, maupun instrumen yang namanya membentuk semacam kata “quasi majemuk” seperti engkuk-kemong, kenut-klenang.

c.       Warna Suara
Seperti telah dijelaskan untuk pembagian kelompok perunggu menjadi bilah dan pencon, ricikan yang beda namun dalam kelompok yang sama cenderung tidak ditempatkan secara berdekatan. Untuk ricikan pencon misalnya pada bonang dan kenong, untuk bilah digantung gender dan slenthem. Ricikan dengan warna suara yang sama dan dalam ambitus yang sama, bila ditempatkan dalam posisi yang berdekatan akan menyulitkan untuk membedakan suaranya secara jelas. Warna suara lain yang perlu diperhatikan adalah tajam dan empuk/lembut. Ricikan dengan suara tajam seperti saron panerus, bonang panerus atau siter cenderung tidak ditempatkan di bagian depan, atau setidaknya juga dijauhkan dari rebab, pesindhen, muapun pendengar.
d.      Volume
Selain warna suara, ricikan gamelan juga memiliki pembawaan untuk bersuara keras atau sebaliknya. Adalah hal yang wajar jika ricikan yang bersuara lembut tidak didekatkan dengan ricikan yang bersuara keras. Hal ini paling tidak dilakukan untuk kepentingan para pengrawit agar dapat mendengarkan permainannya sendiri. Meskipun sekarang teknologi untuk amplifikasi suara dan monitor sudah cukup jamak diterapkan.
e.      Fungsi
Dari tinjauan garap, pembagian ricikan menurut fungsinya menjadi ricikan balungan, garap, dan irama. Pengelompokan ini tampaknya juga berpengaruh pada pengaturan penempatan ricikan dalam suatu penyajian karawitan mandiri. Kenong, kethuk-kempyang, kempul, dan gong yang termasuk dalam kelompok struktural jarang dijauhkan dalam penempatannya. Demikian juga untuk kelompok ricikan garap dan ricikan balungan.
f.        Pertimbangan lain
Nampak pula ada pertimbangan lain bahwa ada kesepakatan tak tertulis terkait kendhang yang dianggap sebagai “dirigen orkes” gamelan. Kendhang sedapat mungkin ditempatkan di tengah-tengah perangkat gamelan. Posisi kendhang yang demikian memudahkan pengrawit lain untuk mendengar tabuhannya, sehingga tugas kendhang sebagai pamurba irama akan dapat terlaksanan dengan baik. Selain itu ada pula kebiasaan pengendhang yang tidak suka didekatkan dengan ricikan saron panerus atau siter karena suara/permainan keduanya dapat mengganggu tugas pengendhang sebagai pemimpin orkes gamelan. Selain suara yang tajam, kedua ricikian ini juga sering nyrimpeti (mengganggu) pekerjaan atau ras pengendhang. Mereka sering nggandhuli (membuat lambat) atau nungkak (mengejar, mendahului) irama dan/atau tempo.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan prinsipil yang menyangkut pengaturan tempat ricikan-ricikan gamelan antara karawitan mandiri dengan karawitan yang berfungsi melayani keperluan lain.  Namun karena ada tuntutan kebutuhan tambahan maka bukan tidak mungkin diperlukan modifikasi penataan ricikan gamelan. Untuk keperluan tari misalnya, kendhang sangat dibutuhkan perannya sehingga penempatan kendhang harus memungkinkan pengendhang untuk melihat secara langsung ke arah penari.

Sementara itu untuk wayang kulit, selain kendhang, gender juga besar peranannya dalam membantu dhalang karena ia harus selalu nggriming, bermain sendiri untuk memberikan clue nada sebelum dhalang suluk atau ada-ada. Selain itu gender selalu memberi grimingan (background music) untuk mendukung suasana ketika dhalang bercerita, membawakan narasi maupun dialog. Oleh karena itu, penggender harus tau lambe ati dalang, karakter, selera, kebiasaan dhalang yang dilayani. Tidak jarang bahwa penggender adalah saudara dekat, saudara kandhung bahkan pada dhalang-dhalang lama, kebanyakan penggender adalah istri dhalang. Sekarang ini kebanyakan istri dhalang adalah pesindhen. Itulah salah satu alasn mengapa para pesindhen sekarang didudukkan pada tempat yang dapat berkomunikasi dengan dhalang. Selain dalam penyajian wayang sekarang ini banyak terjadi dialog antara dhalang dengan sindhen, penampilan (parade) sindhen sendiri juga merupakan bagian dari tontonan menarik yang dapat dijual kepada penonton.

Thursday, June 20, 2013

Konsep Dasar Karawitan I (bagian-2)


disarikan dari buku- Bothekan Karawitan I, Rahayu Supanggah-2002


B.     Perangkat Gamelan

Di Jawa Tengah terutama dalam karawitan tradisi gaya Surakarta, terdapat berbagai jenis perangkat gamelan yang dibedakan menurut jenis, jumlah, dan komposisi ricikan gamelan yang digunakan dan juga fungsinya dalam masyarakat. Berkait dengan perkembangan zaman, pengembangan fungsi karawitan, selera zaman, serta sifat keterbukaan dan kreativitas seniman pada saat ini yang semakin besar, maka nama komposisi ricikan gamelan dan penggunaannya dalam masyarakat juga berubah dan berkembang hingga nyaris tak terbatas. Berikut akan disampaikan sejumlah nama perangkat gamelan yang pernah ada dan yang sampai sekarang juga masih sering ditabuh dan berfungsi, baik yang baru maupun tidak mengalami perubahan seperti pada masa lalu.

   1.      Gamelan Kodhok Ngorek

Gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh beberapa keraton dan kadipaten. Gamelan dan gendhing Kodhok Ngorek oleh masyarakat umum hampir selalu dikaitkan dengan hajatan atau peristiwa pernikahan. Belum diketahui mengapa gamelan ini disebut dengan Kodhok Ngorek. Di dalam keraton sendiri, fungsi gamelan ini tidak hanya untuk kelengkapan upacara pernikahan saja. Gamelan Kodhok Ngorek hadir dalam berbagai upacara seperti Grebeg  dan saat ada peristiwa kekeluargaan kerabat raja, sebagai tanda wara-wara atau pengumuman tentang adanya kelahiran (juga kematian keluarga raja) perempuan. Kodhok Ngorek sering diasosiasikan dengan sifat kefeminiman. Karakter bunyi dari satu-satunya repertoar gendhing yang dimiliki (Gendhing Kodhok Ngorek) relatif halus dan feminim. Hal tersebut akan lebih jelas jika dibandingkan dengan perangkat gamelan pakurmatan yang sejenis, yaitu Gamelan Monggang yang relatif lebih keras dan maskulin.
Perangkat gamelan ini terdiri dari (a) sepasang kendhang peneteg alit dan peneteg ageng; (b) satu atau dua rancak bonang terdiri dari delapan pencon dengan dua nada berbeda (nada P dan Q), diatur selang-seling dan ditabuh oleh empat orang; (c) satu rancak rijal terdiri dari delapan pencon dengan larasan yang sama (nada R) dan ditabuh oleh empat orang; (d) sepasang gong dalam satu gayor dengan larasan berbeda, besar (nada R) dan kecil (nada Q) ditabuh oleh seorang pengrawit; (e) sepasang penonthong dengan dua pencon (nada S dan T), (f) sepasang rojeh, semacam kerincing; (g) kecer; (h) serancak gender barung berlaras slendro; (i) serancak gambang gangsa (wesi); dan (j) sebuah kenong bernada Q. Dengan berdasar pada kelima nada tersebut, menurut Martapangrawit, gamelan Kodhok Ngorek berlaras slendro. Lima nada pada laras slendro dengan interval nada yang hampir sama rata diduduki dan dibagi bersama-sama oleh berbagai pencon dan bilah di sejumlah ricikan tersebut. Pembagian nadanya dari nada ke-1 sampai ke-5 yaitu nada P, Q, R, S, dan T pada ricikan gamelan yang telah disebutkan sebelumnya.
Kebanyakan orang menyebut perangkat dan juga gendhing Kodhok Ngorek berlaras pelog. Anggapan ini muncul karena di masyarakat umum, gendhing tersebut dimainkan dengan perangkat gamelan ageng yang berlaras pelog dengan hanya gender dan gender panerus yang berlaras slendro. Kebetulan juga lagu pokok gendhing Kodhok Ngorek memang didominasi oleh dua nada yang berurutan (interval dekat) dan berkesan pelog. Berikut adalah lago pokok Kodhok Ngorek pada perangkat gamelan ageng.
                        7.76  7.76  7.76  7.76  untuk gamelan tumbuk nem, atau
                        6.65  6.65  6.65  6.65  untuk gamelan tumbuk lima.

  2.      Gamelan Monggang

Perangkat gamelan ini dikategorikan masih sejenis atau bersaudara dengan gamelan Kodhok Ngorek. Gamelan Monggang dianggap lebih muda daripada gamelan Kodhok Ngorek. Selain dianggap lebih maskulin dari pada Kodhok Ngorek, di dalam keraton perangkat gamelan Monggang memiliki rangking atau kedudukan yang lebih tinggi juga. Kedudukan ini karena fungsi dan peranannya yang lebih banyak, lebih penting, dan lebih tinggi, sehingga lebih banyak/ sering digunakan daripada gamelan Kodhok Ngorek. Perangkat gamelan Monggang memiliki jumlah ricikan (dan penabuh) yang lebih banyak dengan ukuran yang jauh lebih besar (walaupun jenis ricikannya lebih sedikit), sehingga suaranya praktis lebih besar dan keras daripada perangkat Kodhok Ngorek.
Beberapa fungsi dari gamelan Monggang antara lain untuk acara penobatan raja; digunakan pada upacara grebeg; menandai peristiwa penting seperti perjanjian; mengiringi latihan perang prajurit berombak; menandai kelahiran bayi laki-laki dari keluarga raja; mangkatnya raja dsb. Dengan kehadiran dan peranan yang penting pada berbagai jenis acara dan upacara penting , gamelan Monggang menduduki tempat teratas diantara berbagai perangkat gamelan pakurmatan di lingkungan keraton.
Komposisi ricikan dalam gamelan Monggang adalah (a) serancak bonang terdiri dari empat bagian dengan enam pencon, yaitu penitir (nada K atau ji), banggen (nada L atau nem), kenong (nada M atau lima), dan bonang (tiga pencon nada KLM); (b) satu/ lebih rancakan boang dengan 6 pencon terdiri tiga nada K, L, M masing-masing dua pencon; (c) tiga tumpukan kecer; (d) satu gayor penonthong, berlaras tinggi dan rendah; (e) sepasang kendhang paneteg ageng dan alit; (f) satu gayor gong ageng; dan (g) satu rancak kenong (japan).
Gamelan Monggang memiliki tiga nada pokok (disebut juga patigan). Larasan pada Monggang membentuk gendhing Monggang yang terdiri dari nada kesatu (K), ke nada kedua (L), kembali ke nada kesatu (K) lalu ditutup nada ketiga (M) sebagai seleh. Pola tersebut berulang beberapa kali dari awal hingga suwuk.
KLKM  KLKM   KLKM   KLKM   ____ dst, nada M adalah nada seleh, nada K dua nada di atas seleh, dan nada L satu nada di atas seleh.
Gendhing Monggang dapat merupakan ulangan dari siklus 1615, 3231, 5352, 2726, maupun yang lainnya baik dalam larasan pelog ataupun slendro. Penyajian gamelan Monggang dapat dimulai dengan irama seseg (cepat), kemudian tamban atau dados, kembali ke seseg dan suwuk.

      3.     Gamelan Carabalen

Perangkat gamelan jenis ini adalah perangkat gamelan pakurmatan yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat, lembaga, atau perorangan di luar keraton. Gamelan Carabalen memilki fungsi yang pasti, yaitu untuk menghormati kedatangan tamu undangan dalam berbagai acara dan upacara. Semua gamelan Carabalen berlaras pelog. Ada sejumlah dugaan mengapa perangkat gamelan ini disebut demikian, salah satunya adalah karena alur lagu dari gendhing-gendhing Carabalen memang memiliki kesan bola-bali, bolan-balen. Dugaan yang lain adalah pola-pola tabuhan yang digunakan, terutama kendhang dan kenut-klenangnya diduga mendapat pengaruh atau meniru cara-cara tabuhan yang terdapat pada kebiasaan karawitan tradisi Bali.
Komposisi ricikan gamelan Carabalen adalah (a) sepasang kendhang, lanang dan wadon; (b) satu rancang gambyong yang terdiri dari empat pencon utama bonang; (c) serancak bonang terdiri dari empat pencon utama dengan dua bagian, kenut (dua pencon lebih besar), dan sisanya klenang; (d) sebuah penonthong; (e) sebuah kenong japan; dan (f) sebuah kempul dan gong dalam satu gayor. Selain itu juga ada perangkat gamelan Carabalen yang disajikan dalam dalam dua “pathet” atau dua larasan yaitu tinggi dan rendah, sering juga disebut sebagai pelog barang dan pelog nem. Untuk itu, bonang dan gambyongnya memiliki enam buah pencon, dengan dua pencon tambahan. Gamelan Kodhok Ngorek disebut juga sebagai gamelan dua nada, sedangkan gamelan Monggang sebagai gamelan patigan (tiga nada), sehingga Carabalen juga mempunyai sebutan serupa yaitu gamelan empat nada.
Perangkat gamelan Carabalen memiliki repertoar gendhing yang lebih banyak daripada gamelan Kodhok Ngorek dan Monggang. Gendhing-gendhing tersebut adalah (a) Lancaran Gangsaran; (b) Lancaran Klumpuk; (c) Lancaran Glagah Kanginan; (d) Ladrang Bali-Balen; (e) Ketawang Pisan(g) Bali; dan (f) Ladrang Babad Kenceng. Gendhing tersebut dapat disajikan secara mandiri atau dapat juga dirangkai. Rangkaian yang biasa dilakukan adalah Gangsaran dengan (minggah) Pisan Bali, Klumpuk dengan Bali-Balen, dan Glagah Kanginan dengan Babad Kenceng, namun pilihan pasangan lagu dalam penyajiannya bukan hal yang baku. Penyajian dilakukan dari lancaran kemudian ke ladrang/ ketawang pasangannya, kemudian kembali ke lancaran dan suwuk.

      4.     Gamelan Sekaten

Gamelan Sekaten adalah satu-satunya perangkat gamelan Jawa yang dianggap terkait langsung dengan upacara Islam, yang pada masa kedatangan Islam dipakai sebagai media syiar. Gamelan jenis ini ditabuh pada pekan sekatenan atau grebeg Mulud. Gamelan sekaten memiliki ricikan dengan dimensi yang paling besar dan paling berat diantara perangkat gamelan yang ada. Gamelan ini sengaja dibuat dengan ukuran yang besar dengan pertimbangan untuk dapat menghasilkan suara yang keras sehingga mampu menarik massa sehubungan dengan fungsinya sebagai sarana dakwah.
Komposisi ricikan yang digunakan pada perangkat gamelan Sekaten di Keraton Surakarta adalah (a) satu rancak bonang yang terdiri dari ricikan bonang dan panembung; (b) dua rancak sarong demung; (c) empat rancak saron barung; (d) dua rancak saron panerus; (e) satu rancak kempyang dengan dua pencon berlaras sama; (f) sebuah bedhug yang digantung pada satu gayor; dan (g) sepasang gong besar, digantung pada satu gayor.
Semua perangkat gamelan Sekaten dibuat dari perunggu dan dilaras pelog. Perangkat gamelan ini nampaknya memang dirancang untuk tidak melibatkan vokal. Hal tersebut dapat dilihat selain dari volume suaranya yang keras sehingga menutup suara manusia, juga larasan gamelannya yang kebanyakan tidak berada dalam wilayah jangkauan (ambitus) suara normal kebanyak pesindhen Jawa.
Gamelan Sekaten di lingkungan Keraton Surakarta memiliki repertoar gendhing yang relatif banyak, hingga ratusan. Dari sekian banyak gendhing tersebut terdapat tiga atau empat gendhing wajib. Gendhing yang harus disajikan pada setiap saat/ hari selama pekan sekaten untuk mengawali sajian sekaten dengan menuruti pathet dan waktu penyajian. Empat gendhing wajib tersebut adalah Ladrang Rangkung dan Rambu pada pathet lima, Ladrang Barang Miring pada pathet barang, serta Ladrang Gana pelog nem yang sudah jarang ditabuh pada sekarang ini.
Keempat jenis perangkat gamelan yang sudah dibicarakan; Kodhok Ngorek, Monggang, Carabalen, dan Sekaten merupakan jenis-jenis gamelan pakurmatan yang digunakan untuk menghormati sesuatu, suatu peristiwa atau seseorang, lembaga, dan sebagainya. Berkait dengan fungsi dan peran masing-masing, perangkat gamelan tersebut umumnya hanya dimiliki oleh lingkungan keraton atau lembaga tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan. Untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan sarana ekspresi kesenian, sekitar tahun 70-an Pusat Kesenian Jawa Tengah, juga ISI Surakarta, dan ISI Yogyakarta mulai membuat salinan perangkat gamelan tersebut.

  5.      Gamelan Ageng

Perangkat gamelan ini dapat dikatakan sebagai perangkat gamelan “standar” yang paling banyak ditemui dalam keseharian untuk berbagai keperluan. Gamelan ageng terdapat dimana-mana, tidak hanya di Jawa atau Indonesia, namun sudah tersebar ke seluruh dunia. Disebut sebagai gamelan standar karena perangkat gamelan ageng adalah perangkat gamelan yang paling “lengkap” jenis ricikannya, paling populer, paling banyak tersebar, paling luwes, dan paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan. Dari perangkat gamelan ageng, dapat “dibuat” perangkat-perangkat gamelan lainnya dengan komposisi, nama, dan kegunaan yang bervariasi. “Keluarga” atau sempalan dari gamelan ageng antara lain perangkat klenengan, wayangan, gadhon, cokekan, siteran, dan lainnya.
Perbedaan dari perangkat gamelan klenengan, wayangan, dan gadhon sebenarnya tidaklah terlalu signifikan. Perbedaan yang jelas antara gamelan wayangan dengan klenengan atau gadhon justru dilihat dari garap gendhingnya. Garap atau cara menabuh gendhing meliputi penggunaan pola tabuhan; irama atau laya (tempo); dan yang paling jelas pada fungsi atau penggunaannya. Gadhon atau klenengan untuk penyajian karawitan “bebas”  atau konser, sedangkan gamelan wayangan untuk menyertai/ mengiringi penyajian wayang kulit purwa.
Cokekan merupakan semacam musik kamar (chamber music) gamelan Jawa. Perangkat cokekan lebih luwes dengan pilihan tiga sampai tujuh ricikan gender, rebab, kendhang, gambang, siter, clempung, slenthem, gender penerus atau suling dll. Sedangkan perangkat siteran terdiri dari ricikan kawat atau siter berbagai jenis, seperti celempung, siter kecil (panerus), slenthem kawat (sudah sangat jarang dijumpai), kendhang, dan satu set gong bumbung atau kemodhong.
Ricikan-ricikan pada perangkat gamelan ageng diantaranya: 
a.       Rebab: satu atau dua buah rebab, biasanya rebab plonthang untuk slendro dan rebab byur untuk pelog.
b. Kendhang: terdiri dari satu kendhang ageng, kendhang ketipung, kendhang penunthung, kendhang ciblon, dan kendhang wayangan.
c.   Gender (barung): tiga buah masing-masing berlaras slendro, pelog nem (bem), dan pelong pitu (barang), berbilah 12 sampai 14 buah.
d.     Gender panerus: komposisi seperti gender barung dengan nada satu gembyang lebih tinggi.
e.   Bonang barung: satu rancak bonang slendro dengan 10 atau 12 pencon, dan satu rancak bonang pelog berkumlah 14 pencon.
f.        Bonang panerus: komposisi seperti bonang barung, dengan nada satu gembyang lebih tinggi.
g.       Gambang: masing-masing satu rancak gambang slendro, pelog nem, dan pelog barang, berbilah antara 18 sampai 21 buah.
h.      Slenthem: satu slenthem slendro dan satu pelog, masing-masing berbilah tuju.
i.         Demung: masing-masing satu demung slendro dan pelog, berbilah tuju.
j.   Saron barung: dua saron slendro dan dua pelog, berbilah tuju, kadang salah satu berbilah hingga sembilan yang biasanya untuk keperluan wayangan.
k.       Saron panerus (peking): satu saron panerus slendro dan satu pelog, berbilah tuju.
l.        Kethuk-kempyang: satu set untuk slendro dengan kempyang (laras barang) dan kethuk (gulu);  dan satu set pelog (kempyang berlarang nem tinggi, kethuk berlaras nem rendah).
m.    Kenong: tiga sampai enam pencon untuk slendro dan tiga sampai tujuh untuk pelog.
n.      Kempul: tiga sampai enam pencon untuk slendro dan tiga sampai tujuh untuk pelog.
o.   Gong suwukan: satu sampai dua pencon untuk slendro dan satu sampai tiga pencon untuk pelog. Suwukan dengan laras barang sering disebut dengan gong siyem.
p.      Gong ageng/ gedhe: satu sampai tiga gong berlaras nem, lima, atau tiga rendah.
q.   Siter atau celempung: satu siter atau celempung slendro dan satu pelog. Sekarang terdapat satu siter yang dapat digunakan untuk slendro dan pelog. Siter two in one ini disebut siter wolak-walik.
r.        Suling: satu suling berlubang empat untuk slendro dan berlubang lima untuk pelog.

  6.      Pengelompokkan ricikan dalam gamelan ageng

Terdapat banyak cara untuk mengelompokkan ricikan gamelan dalam perangkat gamelan ageng, bergantung dari alasan, cara pandang, kebutuhan, maksud dan tujuan. Dalam dunia musik, cara pengelompokkan yang banyak digunakan adalah dengan berdasarkan sumber bunyinya. Pengelompokkan inilah yang paling netral dan paling mudah untuk dilakukan, karena mudah teramati oleh mata dan telinga tanpa harus mempertimbangkan konsep musikal. Namun hampir semua ricikan gamelan merupakan musik perkusi yang menyebabkan pengelompokkan dengan cara ini tidak banyak memberikan penjelasan pada perangkat gamelan.
             i.         Bentuk ricikan
Cara berikutnya adalah pembagian menurut para pandhe gamelan yang berdasarkan bentuk ricikan, yaitu bilah dan pencon. Mereka nampak tidak begitu menghiraukan adanya ricikan rebab, kendang, siter dsb, karena ricikan tersebut memang tidak harus dan biasanya juga tidak dibuat oleh para pandhe gamelan. Pembagian berdasarkan cara ini sudah dijelaskan pada bagian awal.
             ii.       Irama dan lagu
Dalam konsep musikologis umum, unsur musik yang paling penting adalah lagu dan irama. Kemungkinan besar hal tersebut adalah terjemahan dari melody dan rhytm pada konsep musik Barat . Dalam karawitan, ricikan gamelan ageng dapat dibagi menjadi kelompok ricikan lagu dan ricikan irama. Masing-masing kelompok dibagi menjadi dua yaitu pamurba (pemimpin), dan pamangku (pengemban tugas) yang membantu atau mengikuti ricikan pamurba.
Dalam kelompok ricikan lagu, pamurba diserahkan kepada rebab, sedangkan pamurba irama dipercayakan kepada kendhang.  Kemudian muncul juga istilah pamurba yatmaka (pemimpin jiwa), jabatan ini diberikan kepada rebab yang dianggap sebagai jiwa dari karawitan. Ketika rebab beralih jabatan menjadi pamurba yatmaka, jabatan yang kosong sebagai pamurba lagu diisi oleh bonang barung. Namun demikan tidak ada istilah pamangku yatmaka, sehingga rebab seorang diri memimpin jiwa karawitan.
Pengelompokan untuk ricikan lagu masih masuk akal, sebab beberapa ricikan yang masuk kelompok ini memang memainkan atau memiliki lagu. Namun ketika menyebut ricikan irama, tidak semua memainkan perannya dalam tempo, apalagi pengendali irama. Ritme adalah bagian dari lagu, lagu juga tunduk pada irama. Penggolongan irama merupakan penyederhanaan bahwa kelompok istrumen yang tidak memainkan lagu kemudian dimasukkan saja ke dalam kelompok irama. Lagu dan ritme, termasuk tempo dalam permainan musik karawitan merupakan dua unsur yang musik yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Pada suatu kasus, karawitan tidak mempermasalahkan konsep ritme seperti dalam konsep musik Barat. Sementara konsep irama memiliki peran dan implikasi yang sangat luas dalam dunia karawitan. Pengelompokan dengan dasar ini pun nampaknya masih perlu dipertimbangkan kembali.
               iii.      Peran dan/atau Kedudukan
Pembagian ricikan selanjutnya menurut para praktisi/ pengrawit adalah berdasarkan peran atau kedudukannya dalam karawitan. Pengelompokkan dilakukan menjadi tiga: ngajeng (depan) dan wingking (belakang), dan kadang-kadang juga tengah. Pembagian ini lebih luwes bergantung peran suatu ricikan dalam karawitan dan hubungan dengan cabang seni lain. Sebagai contoh dalam klenengan, gong ditempatkan dalam kelompok wingking, namun ketika perangkat gamelan melayani kepentingan wayangan, gong beralih pada posisi tengah.
Contoh pembagian kelompok ricikan dalam keperluan klenengan (a) ngajeng: rebab, kendhang, gender barung, bonang, sindhen; (b) tengah: slenthem, demung, saron, peking, gambang, gerong, gong, kenong, siter; (c) wingking: bonang panerus, gender panerus, kethuk-kempyang, suling.
               iv.     Garap
Konsep pembagian yang cukup bersesuaian salah satunya adalah dengan pertimbangan garap. Berikut adalah pembagiannya:
a.       Ricikan balungan, yaitu ricikan-ricikan yang pada dasarnya memainkan atau permainannya sangat dekat atau sangat mendasarkan pada lagu balungan gendhing. Ricikan yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya adalah slenthem, demung, saron, peking, dan bonang panembung.

b.   Ricikan garap, yaitu ricikan yang menggarap gendhing. Acuan yang digunakan dapat balungan gendhing, dapat juga alur lagu vokal atau yang lain. Permainan ricikan ini pada dasarnya menggunakan pola-pola lagu atau melodik dan/atau pola ritmik yang biasa disebut dengan cengkok, sekaran dan/atau wiled. Bagi yang tidak biasa dengan dunia praktik karawitan, biasanya menemui kesulitan untuk menghubungkan permainan ricikan-ricikan ini dengan lagu balungan gendhing. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya adalah rebab, gender barung, gender panerus, bonang barung, bonang panerus, gambang, siter, suling, dan vokal (sindhen dan gerong).

c.      Ricikan struktural, yaitu ricikan yang permainannya ditentukan oleh bentuk gendhing. Dapat juga dibalik, permainan antar instrumen struktural yang membangun pola, anyaman, jalinan ritmik maupun nada yang kemudian membangun atau memberi bentuk atau struktur pada gendhing. Ricikan dalam kelompok ini adalah kethuk-kempyang, kenong, kempul, gong, engkok, kemong, kemanak, kecer dsb.


v.      Lainnya

Masih terdapat pengelompokan lain yang tidak diterangkan lebih rinci. Pengelompokan dari cara menabuh (dijagur, dikebuk, dipetik, dsb); bahan (kayu, perunggu, tali, kulit, dsb); tingkatan volume suara (lanang, wadon); dan konsep lainnya.

Wednesday, June 19, 2013

Konsep Dasar Karawitan I (bagian-1)


disarikan dari buku- Bothekan Karawitan I, Rahayu Supanggah-2002

A.       Karawitan dan Gamelan

Karawitan atau yang biasa dikenal oleh masyarakat umum sebagai musik gamelan, merupakan salah satu produk kesenian Jawa. Banyak orang memaknai karawitan dengan mangacu pada kata dasarnya yaitu rawit yang bermakna kecil, halus, atau rumit. Istilah karawitan sering juga digunakan untuk menyebut berbagai jenis musik lainnya yang memiliki sifat, karakter, konsep, cara kerja, dan/atau aturan musik yang mirip dengan musik karawitan (tradisi) Jawa. Meskipun memang musik-musik tersebut tidak tumbuh/berasal dari Jawa. Dalam pemaknaan yang lebih luas, istilah karawitan mencakup seni-seni tradisi di Nusantara yang tidak hanya terbatas pada kesenian yang berasal, bernuansa, atau berlatar belakang etnis atau kultural Jawa. Sedangkan istilah gamelan sendiri berarti seperangkat alat musik tradisi Jawa (Sunda, Bali, dsb) yang terdiri dari berbagai instrumen musik saron, bonang, kendang, gong, dsb. Dalam konteks pembahasan seni musik Jawa, istilah karawitan dan gamelan merujuk pada musik tradisi dan perangkat gamelan Jawa.

1.      Ricikan

Dalam dunia karawitan, ricikan adalah istilah untuk menyebut kelompok yang terdiri dari beberapa instrumen dalam jenisnya, misalnya ricikan balungan dan ricikan garap. Dalam perkembangannya, sebagian besar perangkat seni musik di Jawa (khususnya bagian tengah) termasuk golongan perkusi (pukul). Pembagian instrumen-instrumen tersebut secara umum dapat didasarkan pada sumber bahannya. Kelompok tersebut adalah  isntrumen mayoritas bambu, kelompok mayoritas selaput kulit, dan kelompok mayoritas ricikan gamelan.
Kelompok mayoritas bambu, seperti dasar pengelompokannya, sebagian besar instrumen musiknya berbahan dasar bambu. Kelompok musik jenis ini berkembang di derah Yogjakarta bagian selatan, bagian tengah di eks-Keresidenan Kedu, dan bagian barat di wilayah eks-Keresidenan Banyumas. Contoh jenis seni musik yang cukup berkembang, di bagian barat khususnya adalah seni kenthongan (thekthek), angklung, dan calung.
Dalam kelompok mayoritas selaput kulit, sumber suara instrumen berasal dari getaran kulit yang dibentangkan pada suatu bingkai dengan cara dipukul. Dalam penggolongan lebih spesifik, kelompok ini masuk jenis alat musik membrafon. Alat musik ini berkembang di daerah Kedu, sekitar Gunung Merapi dan Merbabu. Kesenian yang mayoritas menggunakan alat musik jenis selaput ini sering  diasosiasikan dengan dunia Islam dan/atau keprajuritan era Hindia Belanda. Jenis kesenian yang berkembang tampil dalam bentuk Shalawat, Prajuritan,  dan teater.
Pembahasan lebih lanjut tentang kelompok lainnya yang mayoritas berupa ricikan gamelan disajikan dalam bagian-bagian berikut.

2.      Ricikan Gamelan

Ricikan gamelan sebagian besar terdiri atas alat musik perkusi logam (perunggu, kuningan, atau besi), secara fisik dapat dikelompokkan menjadi:
a.       Kelompok wilahan atau bilah
Kelompok ini tersusun atas rangkaian wilah (bilahan) logam atau kayu (gambang), berjumlah mulai dari dua (gong kemodhong), tujuh (balungan), hingga dua puluh satu (gambang), dengan berbagai bentuk dan ukuran, serta disusun urut dari nada rendah di sebelah kiri hingga tertinggi di sebelah kanan pengrawit. Bilah tersebut ditempatkan di atas resonator baik bertumpu maupun digantung. Permukaan yang ditabuh untuk bilah yang bertumpu pada umumnya akan polos (contoh saron, demung), sedangkan untuk bilah yang digantung (gender, slenthem) akan berbentuk blimbingan. Bentuk blimbingan, atau bermuka jamak mempunyai banyak lingir atau siku.
b.      Kelompok ricikan pencon
Ricikan pencon sering disebut juga ricikan bunderan, karena memang bentuk dasar yang umumnya bundar. Ricikan yang digolongkan dalam kelompok ini adalah semua jenis ricikan yang memiliki pencu atau pencon, seperti beberapa jenis gong (ageng, siyem, suwukan), kempul, kenong, kethuk, kempyang, bonang (panembung, barung, dan panerus), japan dsb dengan cara digantung atau ditempatkan di atas rangka bertali.
Selain terdiri dari dua kelompok ricikan utama di atas, gamelan juga dilengkapi oleh ricikan gesek (rebab), ricikan tiup (suling), ricikan petik (siter dan celempung), dan ricikan selaput kulit (kendhang dengan beragam variasinya). Ada juga perangkat gamelan yang disebut kemanak, alat musik pukul berongga dari logam yang bentuknya mirip buat pisang yang retak (menganga). Kemanak biasanya digunakan pada repertoar karawitan yang bagian vokalnya dominan, seperti pada gendhing bedhayan atau srimpen.
Gamelan sering juga disebut dengan gangsa. Hal ini diperkiran karena perunggu (juga disebut dengan gangsa) merupakan akronim dari paduan tembaGA dan rejaSA (timah putih). Secara kebetulan juga, komposisi campurannya berbanding tiGA (ntuk rejasa) dan sepuluh/ sedaSA (untuk tembaga).
Bahan dasar untuk membuat gamelan pada umumnya adalah perunggu. Paduan logam ini dianggap sebagai bahan yang paling baik untuk membuat gamelan. Logam lain yang juga sering dipakai adalah dari besi/ baja. Namun kualitas suara dinilai kurang begitu baik dan cenderung melengking, tidak seperti gamelan berbahan perunggu yang lebih dalam dan teteg. Gamelan berbahan perunggu juga lebih mahal dari yang berbahan besi. Bahkan satu buah gong ageng berbahan perunggu harganya setara dengan seperangkat gamelan berbahan besi.
Gong menempati peran yang sangat penting dalam gamelan.  Sebuah gong sering diberi nama dan sebutan Kyai atau Nyai. Nama seperangkat gamelan sering juga mengikuti nama gongnya. Suatu perangkat gamelan disebut dengan nama Kyai Udan Asih atau Kyai Sekar Ganesa Lokananta, karena ia memiliki gong dengan nama yang sama. Gong menjadi sesuatu yang sangat berharga selain memang harganya yang mahal, juga karena cara membuatnya sulit dan penuh dengan risiko. Seorang panji gamelan harus cermat dan teliti dalam membuat gong ini.

Saturday, February 2, 2013

Mangan Ora Mangan sing Penting Kumpul



Judul tulisan ini mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Frase yang juga merupakan salah satu pepatah dalam Bahasa Jawa. Jika diterjemahkan langsung ke dalam Bahasa Indonesia bunyinya adalah ‘Makan Tak Makan yang Penting Kumpul’. Pepatah lama yang mungkin sekarang sudah tidak relevan lagi. Prinsip ini tentu juga sangat berbeda dengan prinsip orang Padang yang sangat mendukung bangsanya untuk merantau, mencari penghidupan yang lebih baik.

Karakter orang Jawa yang memang  mengedepankan kebersamaan dan kekeluargaan mungkin juga  mendasari prinsip ini. Di zaman globalisasi  yang serba keras ini, tuntutan kebutuhan hidup terasa semakin mendesak. Pemenuhan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan nyatanya tidak mudah dicapai. Dewasa ini, telah banyak warga desa yang harus rela meninggalk keluarga untuk bekerja, merantau menjadi TKI di luar negeri. Ya, prinsip ‘mangan ora mangan’ ini agaknya memang sudah tidak berlaku lagi.

Dalam beberapa kesempatan, baik dari ceramah maupun berita, tulisan, sering saya jumpai adanya ‘nada miring’ akan prinsip ini. Sindiran yang menganggap prinsip ini kuno dan patut untuk ditinggalkan. Di tengah hiruk pikuk dunia, akankah kita tetap berdiam diri tanpa berupaya untuk ikut mencicipi manisnya dunia? Adalah sangat ‘bodoh’ ketika masih ada orang yang lebih memilih kekurangan pangan asalkan bisa tetap berkumpul bersama keluarga. Meskipun di luar sana masih banyak kesempatan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Orang kolot yang tak mau mengikuti perkembangan zaman. Mungkin demikian pula pemikiran dan anggapan kita kepada orang tersebut.

Saya sepenuhnya setuju dengan pemikiran di atas, jika memang prinsip ini dimaknai dengan mentah begitu saja. Namun ada pandangan lain, yang memaknai prinsip ini tidak sekadar dari kata-katanya saja. Bahwa ketika kita mau untuk mengkajinya tentu ada hal-hal yang dapat kita peroleh. Pemilihan kata ‘makan’ mungkin saja mengandung arti lain, bukan makan secara harfiah memasukan sesuatu makanan ke dalam mulut kita. Masyarakat Jawa zaman dulu merupakan masyarakat yang istanasentrik, dimana istana merupakan pusat dan tempat berkembangnya budaya Jawa. Dalam tembok istana pula, sering terjadi perebutan kekuasaan, terutama adalah antar pihak dalam keluarga. Untuk itu, makna mangan di sini dapat diartikan sebagai ‘makan’ jatah kekuasaan.

Ketika kita menelaah lebih lanjut, bila ‘mangan’ ini dinyatakan sebagai kekuasaan akan dapat kita jabarkan makan dari prinsip/ pepatah tersebut. Bahwa kekuasaan dalam kerajaan adalah suatu yang memang pantas untuk diinginkan. Namun bila sudah menyangkut masalah keluarga, dalam hal ini warisan kekuasaan, tentu ada pihak yang mendapat ‘makan’ ada nada yang tidak. Konsep ‘mangan ora mangan’ yang dimaknai memperoleh kekuasaan sebagai raja/ pejabat atau tidak, sudah sepatutnya sebagai satu keluarga kita tetap ‘berkumpul’. Berkumpul ini juga memiliki arti berupa rukun, karena tanpa kerukunan tidak mungkin bisa berkumpul dengan tenang.

Lebih luas lagi, ketika kita terapkan dalam kehidupan berbangsa. Dimana terdapat banyak tingkatan ‘raja’ dari presiden hingga ketua RT. Banyak orang yang menginnginkan jabatan ini, walaupun mungkin tidak sadar akan kapabilitas diri, hanya mementingkan nafsu sendiri. Sering kita jumpai ajang pemilihan kepala daerah yang berujung konflik, karena ketidakrelaan dari pihak yang kalah, ataupun kurang merangkul dan sombongnya pihak yang menang. Sudah selayaknya kita sebagai sesama warga Negara, wajib menjaga tetap ‘berkumpulnya’ warga dalam kerukunan.

Di tengah suhu politik yang terus meningkat menjelang Pemilu 2014, kita terlebih para calon pemimpin kita dapat memaknai dan menerapkan salah satu prinsip ini, sehingga tetap dapat tercipta suasana masyarakat yang damai dan kondusif. Tentu bila para calon pemimpin ini masih mengedepankan kepentingan rakyat bukan atas nama nafsu pribadi semata. Sekali lagi prinsip ‘Mangan Orang Mangan sing Penting Kumpul’ tentu masih sangat relevan diterapkan dalam kehidupan berbangsa di masa kini.