disarikan dari buku- Bothekan Karawitan I, Rahayu Supanggah-2002
B.
Perangkat
Gamelan
Di Jawa Tengah
terutama dalam karawitan tradisi gaya Surakarta, terdapat berbagai jenis
perangkat gamelan yang dibedakan menurut jenis, jumlah, dan komposisi ricikan
gamelan yang digunakan dan juga fungsinya dalam masyarakat. Berkait dengan
perkembangan zaman, pengembangan fungsi karawitan, selera zaman, serta sifat
keterbukaan dan kreativitas seniman pada saat ini yang semakin besar, maka nama
komposisi ricikan gamelan dan penggunaannya dalam masyarakat juga berubah dan
berkembang hingga nyaris tak terbatas. Berikut akan disampaikan sejumlah nama perangkat
gamelan yang pernah ada dan yang sampai sekarang juga masih sering ditabuh dan
berfungsi, baik yang baru maupun tidak
mengalami perubahan seperti pada masa lalu.
1.
Gamelan Kodhok Ngorek
Gamelan ini dulu
hanya dimiliki oleh beberapa keraton dan kadipaten. Gamelan dan gendhing Kodhok
Ngorek oleh masyarakat umum hampir selalu dikaitkan dengan hajatan atau
peristiwa pernikahan. Belum diketahui mengapa gamelan ini disebut dengan Kodhok
Ngorek. Di dalam keraton sendiri, fungsi gamelan ini tidak hanya untuk
kelengkapan upacara pernikahan saja. Gamelan Kodhok Ngorek hadir dalam berbagai
upacara seperti Grebeg dan saat ada peristiwa kekeluargaan kerabat
raja, sebagai tanda wara-wara atau
pengumuman tentang adanya kelahiran (juga kematian keluarga raja) perempuan.
Kodhok Ngorek sering diasosiasikan dengan sifat kefeminiman. Karakter bunyi
dari satu-satunya repertoar gendhing yang dimiliki (Gendhing Kodhok Ngorek)
relatif halus dan feminim. Hal tersebut akan lebih jelas jika dibandingkan
dengan perangkat gamelan pakurmatan
yang sejenis, yaitu Gamelan Monggang yang relatif lebih keras dan maskulin.
Perangkat gamelan ini
terdiri dari (a) sepasang kendhang peneteg
alit dan peneteg ageng; (b) satu atau dua rancak bonang terdiri dari delapan
pencon dengan dua nada berbeda (nada P dan Q), diatur selang-seling dan ditabuh oleh empat orang; (c) satu
rancak rijal terdiri dari delapan pencon dengan larasan yang sama (nada R) dan ditabuh oleh empat orang; (d)
sepasang gong dalam satu gayor dengan larasan berbeda, besar (nada R) dan kecil
(nada Q) ditabuh oleh seorang pengrawit; (e) sepasang penonthong dengan dua
pencon (nada S dan T), (f) sepasang rojeh,
semacam kerincing; (g) kecer; (h) serancak gender barung berlaras slendro; (i) serancak
gambang gangsa (wesi); dan (j) sebuah kenong bernada Q. Dengan berdasar pada
kelima nada tersebut, menurut Martapangrawit, gamelan Kodhok Ngorek berlaras
slendro. Lima nada pada laras slendro dengan interval nada yang hampir sama
rata diduduki dan dibagi bersama-sama oleh berbagai pencon dan bilah di
sejumlah ricikan tersebut. Pembagian nadanya dari nada ke-1 sampai ke-5 yaitu
nada P, Q, R, S, dan T pada ricikan gamelan yang telah disebutkan sebelumnya.
Kebanyakan orang
menyebut perangkat dan juga gendhing Kodhok Ngorek berlaras pelog. Anggapan ini
muncul karena di
masyarakat umum, gendhing tersebut dimainkan dengan perangkat gamelan ageng
yang berlaras pelog dengan hanya gender dan gender panerus yang berlaras
slendro. Kebetulan juga lagu pokok gendhing Kodhok Ngorek memang didominasi oleh
dua nada yang berurutan (interval dekat) dan berkesan pelog. Berikut adalah
lago pokok Kodhok Ngorek pada perangkat gamelan ageng.
7.76 7.76
7.76 7.76 untuk gamelan tumbuk nem, atau
6.65 6.65
6.65 6.65 untuk gamelan tumbuk lima.
2.
Gamelan Monggang
Perangkat gamelan ini
dikategorikan masih sejenis atau bersaudara dengan gamelan Kodhok Ngorek.
Gamelan Monggang dianggap lebih muda daripada gamelan Kodhok Ngorek. Selain
dianggap lebih maskulin dari pada Kodhok Ngorek, di dalam keraton perangkat
gamelan Monggang memiliki rangking atau kedudukan yang lebih tinggi juga.
Kedudukan ini karena fungsi dan peranannya yang lebih banyak, lebih penting, dan lebih tinggi,
sehingga lebih banyak/ sering digunakan daripada gamelan Kodhok Ngorek.
Perangkat gamelan Monggang memiliki jumlah ricikan (dan penabuh) yang lebih banyak
dengan ukuran yang jauh lebih besar (walaupun jenis ricikannya lebih sedikit), sehingga suaranya
praktis lebih besar dan keras daripada perangkat Kodhok Ngorek.
Beberapa fungsi dari
gamelan Monggang antara lain untuk acara penobatan raja; digunakan pada upacara grebeg; menandai
peristiwa penting seperti perjanjian; mengiringi latihan perang prajurit
berombak; menandai kelahiran bayi laki-laki dari keluarga raja; mangkatnya raja
dsb. Dengan kehadiran dan peranan yang penting pada berbagai jenis acara dan
upacara penting , gamelan Monggang
menduduki tempat teratas diantara berbagai perangkat gamelan pakurmatan di
lingkungan keraton.
Komposisi ricikan
dalam gamelan Monggang adalah (a) serancak bonang terdiri dari empat bagian
dengan enam pencon, yaitu penitir (nada
K atau ji), banggen (nada L atau
nem), kenong (nada M atau lima), dan bonang (tiga pencon nada KLM); (b) satu/
lebih rancakan boang dengan 6 pencon terdiri tiga nada K, L, M masing-masing
dua pencon; (c) tiga tumpukan kecer; (d) satu gayor penonthong, berlaras tinggi
dan rendah; (e) sepasang kendhang paneteg ageng dan alit; (f) satu gayor gong
ageng; dan (g) satu rancak kenong (japan).
Gamelan Monggang memiliki tiga nada pokok
(disebut juga patigan). Larasan pada
Monggang membentuk gendhing Monggang yang terdiri dari nada kesatu (K), ke nada
kedua (L), kembali ke nada kesatu (K) lalu ditutup nada ketiga (M) sebagai seleh. Pola tersebut berulang beberapa
kali dari awal hingga suwuk.
KLKM KLKM
KLKM KLKM ____ dst, nada M adalah nada seleh, nada K
dua nada di atas seleh, dan nada L satu nada di atas seleh.
Gendhing Monggang
dapat merupakan ulangan dari siklus 1615, 3231, 5352, 2726, maupun yang lainnya
baik dalam larasan pelog ataupun slendro. Penyajian gamelan Monggang dapat
dimulai dengan irama seseg (cepat), kemudian tamban atau dados, kembali ke
seseg dan suwuk.
3.
Gamelan Carabalen
Perangkat gamelan
jenis ini adalah perangkat gamelan pakurmatan yang paling banyak dimiliki oleh
masyarakat, lembaga, atau perorangan di luar keraton. Gamelan Carabalen memilki
fungsi yang pasti, yaitu untuk menghormati kedatangan tamu undangan dalam berbagai
acara dan upacara. Semua gamelan Carabalen berlaras pelog. Ada sejumlah dugaan
mengapa perangkat gamelan ini disebut demikian, salah satunya adalah karena
alur lagu dari gendhing-gendhing Carabalen memang memiliki kesan bola-bali, bolan-balen. Dugaan yang lain
adalah pola-pola tabuhan yang digunakan, terutama kendhang dan kenut-klenangnya
diduga mendapat pengaruh atau meniru cara-cara tabuhan yang terdapat pada
kebiasaan karawitan tradisi Bali.
Komposisi ricikan
gamelan Carabalen adalah (a) sepasang kendhang, lanang dan wadon; (b)
satu rancang gambyong yang terdiri
dari empat pencon utama bonang; (c) serancak bonang terdiri dari empat pencon
utama dengan dua bagian, kenut (dua
pencon lebih besar), dan sisanya klenang;
(d) sebuah penonthong; (e) sebuah kenong
japan; dan (f) sebuah kempul dan gong
dalam satu gayor. Selain itu juga ada perangkat gamelan Carabalen yang
disajikan dalam dalam dua “pathet” atau dua larasan yaitu tinggi dan rendah,
sering juga disebut sebagai pelog barang dan pelog nem. Untuk itu, bonang dan
gambyongnya memiliki enam buah pencon, dengan dua pencon tambahan. Gamelan
Kodhok Ngorek disebut juga sebagai gamelan dua nada, sedangkan gamelan Monggang
sebagai gamelan patigan (tiga nada), sehingga Carabalen juga mempunyai sebutan
serupa yaitu gamelan empat nada.
Perangkat gamelan
Carabalen memiliki repertoar gendhing yang lebih banyak daripada gamelan Kodhok
Ngorek dan Monggang. Gendhing-gendhing tersebut adalah (a) Lancaran Gangsaran; (b) Lancaran Klumpuk; (c)
Lancaran Glagah Kanginan; (d) Ladrang
Bali-Balen; (e) Ketawang Pisan(g)
Bali; dan (f) Ladrang Babad Kenceng. Gendhing tersebut dapat
disajikan secara mandiri atau dapat juga dirangkai. Rangkaian yang biasa
dilakukan adalah Gangsaran dengan (minggah) Pisan Bali, Klumpuk dengan
Bali-Balen, dan Glagah Kanginan dengan Babad
Kenceng, namun pilihan pasangan lagu dalam penyajiannya bukan hal yang
baku. Penyajian dilakukan dari lancaran kemudian ke ladrang/ ketawang
pasangannya, kemudian kembali ke lancaran dan suwuk.
4.
Gamelan Sekaten
Gamelan Sekaten
adalah satu-satunya perangkat gamelan Jawa yang dianggap terkait langsung
dengan upacara Islam, yang pada masa kedatangan Islam dipakai sebagai media
syiar. Gamelan jenis ini ditabuh pada pekan sekatenan atau grebeg Mulud.
Gamelan sekaten memiliki ricikan dengan dimensi yang paling besar dan paling
berat diantara perangkat gamelan yang ada. Gamelan ini sengaja dibuat dengan
ukuran yang besar dengan pertimbangan untuk dapat menghasilkan suara yang keras
sehingga mampu menarik massa sehubungan
dengan fungsinya sebagai sarana dakwah.
Komposisi ricikan
yang digunakan pada perangkat gamelan Sekaten di Keraton Surakarta adalah (a)
satu rancak bonang yang terdiri dari ricikan bonang dan panembung; (b) dua
rancak sarong demung; (c) empat rancak saron barung; (d) dua rancak saron
panerus; (e) satu rancak kempyang dengan dua pencon berlaras sama; (f) sebuah
bedhug yang digantung pada satu gayor; dan (g) sepasang gong besar, digantung
pada satu gayor.
Semua perangkat
gamelan Sekaten dibuat dari perunggu dan dilaras pelog. Perangkat gamelan ini
nampaknya memang dirancang untuk tidak melibatkan vokal. Hal tersebut dapat
dilihat selain dari volume suaranya yang keras sehingga menutup suara manusia,
juga larasan gamelannya yang kebanyakan tidak berada dalam wilayah jangkauan
(ambitus) suara normal kebanyak pesindhen Jawa.
Gamelan Sekaten di
lingkungan Keraton Surakarta memiliki repertoar gendhing yang relatif banyak,
hingga ratusan. Dari sekian banyak gendhing tersebut terdapat tiga atau empat
gendhing wajib. Gendhing yang harus disajikan pada setiap saat/ hari selama
pekan sekaten untuk mengawali sajian sekaten dengan menuruti pathet dan waktu
penyajian. Empat gendhing wajib tersebut adalah Ladrang Rangkung dan Rambu pada
pathet lima, Ladrang Barang Miring
pada pathet barang, serta Ladrang Gana
pelog nem yang sudah jarang ditabuh pada sekarang ini.
Keempat jenis
perangkat gamelan yang sudah dibicarakan; Kodhok Ngorek, Monggang, Carabalen,
dan Sekaten merupakan jenis-jenis gamelan pakurmatan yang digunakan untuk
menghormati sesuatu, suatu peristiwa atau seseorang, lembaga, dan sebagainya.
Berkait dengan fungsi dan peran masing-masing, perangkat gamelan tersebut
umumnya hanya dimiliki oleh lingkungan keraton atau lembaga tertentu yang
berhubungan dengan kekuasaan. Untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan
sarana ekspresi kesenian, sekitar tahun 70-an Pusat Kesenian Jawa Tengah, juga
ISI Surakarta, dan ISI Yogyakarta mulai membuat salinan perangkat gamelan
tersebut.
5.
Gamelan Ageng
Perangkat gamelan ini
dapat dikatakan sebagai perangkat gamelan “standar” yang paling banyak ditemui
dalam keseharian untuk berbagai keperluan. Gamelan ageng terdapat dimana-mana,
tidak hanya di Jawa atau Indonesia, namun sudah tersebar ke seluruh dunia.
Disebut sebagai gamelan standar karena perangkat gamelan ageng adalah perangkat
gamelan yang paling “lengkap” jenis ricikannya, paling populer, paling banyak
tersebar, paling luwes, dan paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan.
Dari perangkat gamelan ageng, dapat “dibuat” perangkat-perangkat gamelan
lainnya dengan komposisi, nama, dan kegunaan yang bervariasi. “Keluarga” atau
sempalan dari gamelan ageng antara lain perangkat klenengan, wayangan, gadhon,
cokekan, siteran, dan lainnya.
Perbedaan dari perangkat gamelan klenengan, wayangan, dan gadhon sebenarnya
tidaklah terlalu signifikan. Perbedaan yang jelas antara gamelan wayangan
dengan klenengan atau gadhon justru dilihat dari garap gendhingnya. Garap atau
cara menabuh gendhing meliputi penggunaan pola tabuhan; irama atau laya (tempo); dan yang paling jelas pada
fungsi atau penggunaannya. Gadhon atau klenengan untuk penyajian karawitan “bebas” atau konser, sedangkan gamelan wayangan untuk
menyertai/ mengiringi penyajian wayang kulit purwa.
Cokekan merupakan semacam
musik kamar (chamber music) gamelan
Jawa. Perangkat cokekan lebih luwes dengan pilihan tiga sampai tujuh ricikan
gender, rebab, kendhang, gambang, siter, clempung, slenthem, gender penerus
atau suling dll. Sedangkan perangkat siteran terdiri dari ricikan kawat atau
siter berbagai jenis, seperti celempung, siter kecil (panerus), slenthem kawat
(sudah sangat jarang dijumpai), kendhang, dan satu set gong bumbung atau
kemodhong.
Ricikan-ricikan pada
perangkat gamelan ageng diantaranya:
a.
Rebab: satu atau dua buah rebab, biasanya rebab plonthang untuk slendro dan rebab byur
untuk pelog.
b. Kendhang: terdiri dari satu kendhang ageng,
kendhang ketipung, kendhang penunthung, kendhang ciblon, dan kendhang wayangan.
c. Gender (barung): tiga buah masing-masing
berlaras slendro, pelog nem (bem), dan pelong pitu (barang), berbilah 12 sampai
14 buah.
d. Gender panerus: komposisi seperti gender barung
dengan nada satu gembyang lebih tinggi.
e. Bonang barung: satu rancak bonang slendro dengan
10 atau 12 pencon, dan satu rancak bonang pelog berkumlah 14 pencon.
f.
Bonang panerus: komposisi seperti bonang barung,
dengan nada satu gembyang lebih tinggi.
g.
Gambang: masing-masing satu rancak gambang
slendro, pelog nem, dan pelog barang, berbilah antara 18 sampai 21 buah.
h.
Slenthem: satu slenthem slendro dan satu pelog,
masing-masing berbilah tuju.
i.
Demung: masing-masing satu demung slendro dan
pelog, berbilah tuju.
j. Saron barung: dua saron slendro dan dua pelog,
berbilah tuju, kadang salah satu berbilah hingga sembilan yang biasanya untuk
keperluan wayangan.
k.
Saron panerus (peking): satu saron panerus
slendro dan satu pelog, berbilah tuju.
l. Kethuk-kempyang: satu set untuk slendro dengan
kempyang (laras barang) dan kethuk (gulu);
dan satu set pelog (kempyang berlarang nem tinggi, kethuk berlaras nem
rendah).
m.
Kenong: tiga sampai enam pencon untuk slendro
dan tiga sampai tujuh untuk pelog.
n.
Kempul: tiga sampai enam pencon untuk slendro
dan tiga sampai tujuh untuk pelog.
o. Gong suwukan: satu sampai dua pencon untuk
slendro dan satu sampai tiga pencon untuk pelog. Suwukan dengan laras barang
sering disebut dengan gong siyem.
p.
Gong ageng/ gedhe: satu sampai tiga gong
berlaras nem, lima, atau tiga rendah.
q. Siter atau celempung: satu siter atau celempung
slendro dan satu pelog. Sekarang terdapat satu siter yang dapat digunakan untuk slendro dan pelog.
Siter two in one ini disebut siter wolak-walik.
r.
Suling: satu suling berlubang empat untuk
slendro dan berlubang lima untuk pelog.
6.
Pengelompokkan ricikan dalam gamelan
ageng
Terdapat banyak cara
untuk mengelompokkan ricikan gamelan dalam perangkat gamelan ageng, bergantung
dari alasan, cara pandang, kebutuhan, maksud dan tujuan. Dalam dunia musik, cara
pengelompokkan yang banyak digunakan adalah dengan berdasarkan sumber bunyinya.
Pengelompokkan inilah yang paling netral dan paling mudah untuk dilakukan, karena
mudah teramati oleh
mata dan telinga tanpa harus mempertimbangkan konsep musikal. Namun hampir
semua ricikan gamelan merupakan musik perkusi yang menyebabkan pengelompokkan
dengan cara ini tidak banyak memberikan penjelasan pada perangkat gamelan.
i.
Bentuk ricikan
Cara berikutnya adalah pembagian menurut
para pandhe gamelan yang berdasarkan
bentuk ricikan, yaitu bilah dan pencon. Mereka nampak tidak begitu menghiraukan
adanya ricikan rebab, kendang, siter dsb, karena ricikan tersebut memang tidak
harus dan biasanya juga tidak dibuat oleh para pandhe gamelan. Pembagian
berdasarkan cara ini sudah dijelaskan pada bagian awal.
ii. Irama
dan lagu
Dalam konsep musikologis umum,
unsur musik yang paling penting adalah lagu dan irama. Kemungkinan besar hal
tersebut adalah terjemahan dari melody dan
rhytm pada konsep musik Barat . Dalam karawitan, ricikan gamelan
ageng dapat dibagi menjadi kelompok ricikan lagu dan ricikan irama.
Masing-masing kelompok dibagi menjadi dua yaitu pamurba (pemimpin), dan pamangku
(pengemban tugas) yang membantu atau mengikuti ricikan pamurba.
Dalam kelompok ricikan lagu,
pamurba diserahkan kepada rebab, sedangkan pamurba irama dipercayakan kepada
kendhang. Kemudian muncul juga istilah pamurba yatmaka (pemimpin jiwa), jabatan
ini diberikan kepada rebab yang dianggap sebagai jiwa dari karawitan. Ketika
rebab beralih jabatan menjadi pamurba yatmaka, jabatan yang kosong sebagai
pamurba lagu diisi oleh bonang barung. Namun demikan tidak ada istilah pamangku
yatmaka, sehingga rebab seorang
diri memimpin jiwa karawitan.
Pengelompokan untuk ricikan lagu
masih masuk akal, sebab beberapa ricikan yang masuk kelompok ini memang
memainkan atau memiliki lagu. Namun ketika menyebut ricikan irama, tidak semua
memainkan perannya dalam tempo, apalagi pengendali irama. Ritme adalah bagian dari lagu, lagu
juga tunduk pada irama. Penggolongan irama merupakan penyederhanaan bahwa
kelompok istrumen yang tidak memainkan lagu kemudian dimasukkan saja ke dalam
kelompok irama. Lagu dan ritme, termasuk tempo dalam permainan musik karawitan
merupakan dua unsur yang musik yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Pada
suatu kasus, karawitan tidak mempermasalahkan konsep ritme seperti dalam konsep
musik Barat. Sementara konsep irama memiliki peran dan implikasi yang sangat
luas dalam dunia karawitan. Pengelompokan dengan dasar ini pun nampaknya masih
perlu dipertimbangkan kembali.
iii. Peran
dan/atau Kedudukan
Pembagian ricikan selanjutnya menurut
para praktisi/ pengrawit adalah berdasarkan peran atau kedudukannya dalam
karawitan. Pengelompokkan dilakukan menjadi tiga: ngajeng (depan) dan wingking (belakang),
dan kadang-kadang juga tengah.
Pembagian ini lebih luwes bergantung peran suatu ricikan dalam karawitan dan
hubungan dengan cabang seni lain. Sebagai contoh dalam klenengan, gong
ditempatkan dalam kelompok wingking, namun ketika perangkat gamelan melayani
kepentingan wayangan, gong beralih pada posisi tengah.
Contoh pembagian kelompok ricikan dalam
keperluan klenengan (a) ngajeng:
rebab, kendhang, gender barung, bonang, sindhen; (b) tengah: slenthem, demung, saron, peking, gambang, gerong, gong,
kenong, siter; (c) wingking: bonang
panerus, gender panerus, kethuk-kempyang, suling.
iv. Garap
Konsep pembagian yang cukup bersesuaian
salah satunya adalah dengan pertimbangan garap. Berikut adalah pembagiannya:
a.
Ricikan balungan, yaitu ricikan-ricikan yang
pada dasarnya memainkan atau permainannya sangat dekat atau sangat mendasarkan
pada lagu balungan gendhing. Ricikan yang termasuk dalam kelompok ini
diantaranya adalah slenthem, demung, saron, peking, dan bonang panembung.
b. Ricikan garap, yaitu ricikan yang menggarap
gendhing. Acuan yang digunakan dapat balungan gendhing, dapat juga alur lagu
vokal atau yang lain. Permainan ricikan ini pada dasarnya menggunakan pola-pola
lagu atau melodik dan/atau pola ritmik yang biasa disebut dengan cengkok, sekaran dan/atau wiled. Bagi yang tidak biasa dengan
dunia praktik karawitan, biasanya menemui kesulitan untuk menghubungkan
permainan ricikan-ricikan ini dengan lagu balungan gendhing. Yang termasuk
dalam kelompok ini diantaranya adalah rebab, gender barung, gender panerus,
bonang barung, bonang panerus, gambang, siter, suling, dan vokal (sindhen dan
gerong).
c. Ricikan struktural, yaitu ricikan yang
permainannya ditentukan oleh bentuk gendhing. Dapat juga dibalik, permainan
antar instrumen struktural yang membangun pola, anyaman, jalinan ritmik maupun
nada yang kemudian membangun atau memberi bentuk atau struktur pada gendhing.
Ricikan dalam kelompok ini adalah kethuk-kempyang, kenong, kempul, gong,
engkok, kemong, kemanak, kecer dsb.
v.
Lainnya
Masih terdapat pengelompokan lain yang
tidak diterangkan lebih rinci. Pengelompokan dari cara menabuh (dijagur, dikebuk, dipetik, dsb); bahan
(kayu, perunggu, tali, kulit, dsb); tingkatan volume suara (lanang, wadon); dan konsep lainnya.