Saturday, February 2, 2013

Mangan Ora Mangan sing Penting Kumpul



Judul tulisan ini mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Frase yang juga merupakan salah satu pepatah dalam Bahasa Jawa. Jika diterjemahkan langsung ke dalam Bahasa Indonesia bunyinya adalah ‘Makan Tak Makan yang Penting Kumpul’. Pepatah lama yang mungkin sekarang sudah tidak relevan lagi. Prinsip ini tentu juga sangat berbeda dengan prinsip orang Padang yang sangat mendukung bangsanya untuk merantau, mencari penghidupan yang lebih baik.

Karakter orang Jawa yang memang  mengedepankan kebersamaan dan kekeluargaan mungkin juga  mendasari prinsip ini. Di zaman globalisasi  yang serba keras ini, tuntutan kebutuhan hidup terasa semakin mendesak. Pemenuhan kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan nyatanya tidak mudah dicapai. Dewasa ini, telah banyak warga desa yang harus rela meninggalk keluarga untuk bekerja, merantau menjadi TKI di luar negeri. Ya, prinsip ‘mangan ora mangan’ ini agaknya memang sudah tidak berlaku lagi.

Dalam beberapa kesempatan, baik dari ceramah maupun berita, tulisan, sering saya jumpai adanya ‘nada miring’ akan prinsip ini. Sindiran yang menganggap prinsip ini kuno dan patut untuk ditinggalkan. Di tengah hiruk pikuk dunia, akankah kita tetap berdiam diri tanpa berupaya untuk ikut mencicipi manisnya dunia? Adalah sangat ‘bodoh’ ketika masih ada orang yang lebih memilih kekurangan pangan asalkan bisa tetap berkumpul bersama keluarga. Meskipun di luar sana masih banyak kesempatan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Orang kolot yang tak mau mengikuti perkembangan zaman. Mungkin demikian pula pemikiran dan anggapan kita kepada orang tersebut.

Saya sepenuhnya setuju dengan pemikiran di atas, jika memang prinsip ini dimaknai dengan mentah begitu saja. Namun ada pandangan lain, yang memaknai prinsip ini tidak sekadar dari kata-katanya saja. Bahwa ketika kita mau untuk mengkajinya tentu ada hal-hal yang dapat kita peroleh. Pemilihan kata ‘makan’ mungkin saja mengandung arti lain, bukan makan secara harfiah memasukan sesuatu makanan ke dalam mulut kita. Masyarakat Jawa zaman dulu merupakan masyarakat yang istanasentrik, dimana istana merupakan pusat dan tempat berkembangnya budaya Jawa. Dalam tembok istana pula, sering terjadi perebutan kekuasaan, terutama adalah antar pihak dalam keluarga. Untuk itu, makna mangan di sini dapat diartikan sebagai ‘makan’ jatah kekuasaan.

Ketika kita menelaah lebih lanjut, bila ‘mangan’ ini dinyatakan sebagai kekuasaan akan dapat kita jabarkan makan dari prinsip/ pepatah tersebut. Bahwa kekuasaan dalam kerajaan adalah suatu yang memang pantas untuk diinginkan. Namun bila sudah menyangkut masalah keluarga, dalam hal ini warisan kekuasaan, tentu ada pihak yang mendapat ‘makan’ ada nada yang tidak. Konsep ‘mangan ora mangan’ yang dimaknai memperoleh kekuasaan sebagai raja/ pejabat atau tidak, sudah sepatutnya sebagai satu keluarga kita tetap ‘berkumpul’. Berkumpul ini juga memiliki arti berupa rukun, karena tanpa kerukunan tidak mungkin bisa berkumpul dengan tenang.

Lebih luas lagi, ketika kita terapkan dalam kehidupan berbangsa. Dimana terdapat banyak tingkatan ‘raja’ dari presiden hingga ketua RT. Banyak orang yang menginnginkan jabatan ini, walaupun mungkin tidak sadar akan kapabilitas diri, hanya mementingkan nafsu sendiri. Sering kita jumpai ajang pemilihan kepala daerah yang berujung konflik, karena ketidakrelaan dari pihak yang kalah, ataupun kurang merangkul dan sombongnya pihak yang menang. Sudah selayaknya kita sebagai sesama warga Negara, wajib menjaga tetap ‘berkumpulnya’ warga dalam kerukunan.

Di tengah suhu politik yang terus meningkat menjelang Pemilu 2014, kita terlebih para calon pemimpin kita dapat memaknai dan menerapkan salah satu prinsip ini, sehingga tetap dapat tercipta suasana masyarakat yang damai dan kondusif. Tentu bila para calon pemimpin ini masih mengedepankan kepentingan rakyat bukan atas nama nafsu pribadi semata. Sekali lagi prinsip ‘Mangan Orang Mangan sing Penting Kumpul’ tentu masih sangat relevan diterapkan dalam kehidupan berbangsa di masa kini.