Judul tulisan
ini mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Frase yang juga merupakan
salah satu pepatah dalam Bahasa Jawa. Jika diterjemahkan langsung ke dalam
Bahasa Indonesia bunyinya adalah ‘Makan Tak Makan yang Penting Kumpul’. Pepatah
lama yang mungkin sekarang sudah tidak relevan lagi. Prinsip ini tentu juga
sangat berbeda dengan prinsip orang Padang yang sangat mendukung bangsanya
untuk merantau, mencari penghidupan yang lebih baik.
Karakter orang
Jawa yang memang mengedepankan kebersamaan
dan kekeluargaan mungkin juga mendasari
prinsip ini. Di zaman globalisasi yang
serba keras ini, tuntutan kebutuhan hidup terasa semakin mendesak. Pemenuhan
kebutuhan pokok berupa sandang, pangan, dan papan nyatanya tidak mudah dicapai.
Dewasa ini, telah banyak warga desa yang harus rela meninggalk keluarga untuk
bekerja, merantau menjadi TKI di luar negeri. Ya, prinsip ‘mangan ora mangan’
ini agaknya memang sudah tidak berlaku lagi.
Dalam beberapa
kesempatan, baik dari ceramah maupun berita, tulisan, sering saya jumpai adanya
‘nada miring’ akan prinsip ini. Sindiran yang menganggap prinsip ini kuno dan
patut untuk ditinggalkan. Di tengah hiruk pikuk dunia, akankah kita tetap
berdiam diri tanpa berupaya untuk ikut mencicipi manisnya dunia? Adalah sangat ‘bodoh’
ketika masih ada orang yang lebih memilih kekurangan pangan asalkan bisa tetap
berkumpul bersama keluarga. Meskipun di luar sana masih banyak kesempatan untuk
memperoleh kehidupan yang lebih baik. Orang kolot yang tak mau mengikuti
perkembangan zaman. Mungkin demikian pula pemikiran dan anggapan kita kepada orang
tersebut.
Saya sepenuhnya
setuju dengan pemikiran di atas, jika memang prinsip ini dimaknai dengan mentah
begitu saja. Namun ada pandangan lain, yang memaknai prinsip ini tidak sekadar
dari kata-katanya saja. Bahwa ketika kita mau untuk mengkajinya tentu ada
hal-hal yang dapat kita peroleh. Pemilihan kata ‘makan’ mungkin saja mengandung
arti lain, bukan makan secara harfiah memasukan sesuatu makanan ke dalam mulut
kita. Masyarakat Jawa zaman dulu merupakan masyarakat yang istanasentrik,
dimana istana merupakan pusat dan tempat berkembangnya budaya Jawa. Dalam
tembok istana pula, sering terjadi perebutan kekuasaan, terutama adalah antar
pihak dalam keluarga. Untuk itu, makna mangan di sini dapat diartikan sebagai ‘makan’
jatah kekuasaan.
Ketika kita
menelaah lebih lanjut, bila ‘mangan’ ini dinyatakan sebagai kekuasaan akan
dapat kita jabarkan makan dari prinsip/ pepatah tersebut. Bahwa kekuasaan dalam
kerajaan adalah suatu yang memang pantas untuk diinginkan. Namun bila sudah
menyangkut masalah keluarga, dalam hal ini warisan kekuasaan, tentu ada pihak
yang mendapat ‘makan’ ada nada yang tidak. Konsep ‘mangan ora mangan’ yang
dimaknai memperoleh kekuasaan sebagai raja/ pejabat atau tidak, sudah
sepatutnya sebagai satu keluarga kita tetap ‘berkumpul’. Berkumpul ini juga
memiliki arti berupa rukun, karena tanpa kerukunan tidak mungkin bisa berkumpul
dengan tenang.
Lebih luas
lagi, ketika kita terapkan dalam kehidupan berbangsa. Dimana terdapat banyak
tingkatan ‘raja’ dari presiden hingga ketua RT. Banyak orang yang menginnginkan
jabatan ini, walaupun mungkin tidak sadar akan kapabilitas diri, hanya mementingkan
nafsu sendiri. Sering kita jumpai ajang pemilihan kepala daerah yang berujung
konflik, karena ketidakrelaan dari pihak yang kalah, ataupun kurang merangkul
dan sombongnya pihak yang menang. Sudah selayaknya kita sebagai sesama warga Negara,
wajib menjaga tetap ‘berkumpulnya’ warga dalam kerukunan.
Di tengah suhu
politik yang terus meningkat menjelang Pemilu 2014, kita terlebih para calon
pemimpin kita dapat memaknai dan menerapkan salah satu prinsip ini, sehingga
tetap dapat tercipta suasana masyarakat yang damai dan kondusif. Tentu bila para
calon pemimpin ini masih mengedepankan kepentingan rakyat bukan atas nama nafsu
pribadi semata. Sekali lagi prinsip ‘Mangan Orang Mangan sing Penting Kumpul’ tentu
masih sangat relevan diterapkan dalam kehidupan berbangsa di masa kini.