Wednesday, June 19, 2013

Konsep Dasar Karawitan I (bagian-1)


disarikan dari buku- Bothekan Karawitan I, Rahayu Supanggah-2002

A.       Karawitan dan Gamelan

Karawitan atau yang biasa dikenal oleh masyarakat umum sebagai musik gamelan, merupakan salah satu produk kesenian Jawa. Banyak orang memaknai karawitan dengan mangacu pada kata dasarnya yaitu rawit yang bermakna kecil, halus, atau rumit. Istilah karawitan sering juga digunakan untuk menyebut berbagai jenis musik lainnya yang memiliki sifat, karakter, konsep, cara kerja, dan/atau aturan musik yang mirip dengan musik karawitan (tradisi) Jawa. Meskipun memang musik-musik tersebut tidak tumbuh/berasal dari Jawa. Dalam pemaknaan yang lebih luas, istilah karawitan mencakup seni-seni tradisi di Nusantara yang tidak hanya terbatas pada kesenian yang berasal, bernuansa, atau berlatar belakang etnis atau kultural Jawa. Sedangkan istilah gamelan sendiri berarti seperangkat alat musik tradisi Jawa (Sunda, Bali, dsb) yang terdiri dari berbagai instrumen musik saron, bonang, kendang, gong, dsb. Dalam konteks pembahasan seni musik Jawa, istilah karawitan dan gamelan merujuk pada musik tradisi dan perangkat gamelan Jawa.

1.      Ricikan

Dalam dunia karawitan, ricikan adalah istilah untuk menyebut kelompok yang terdiri dari beberapa instrumen dalam jenisnya, misalnya ricikan balungan dan ricikan garap. Dalam perkembangannya, sebagian besar perangkat seni musik di Jawa (khususnya bagian tengah) termasuk golongan perkusi (pukul). Pembagian instrumen-instrumen tersebut secara umum dapat didasarkan pada sumber bahannya. Kelompok tersebut adalah  isntrumen mayoritas bambu, kelompok mayoritas selaput kulit, dan kelompok mayoritas ricikan gamelan.
Kelompok mayoritas bambu, seperti dasar pengelompokannya, sebagian besar instrumen musiknya berbahan dasar bambu. Kelompok musik jenis ini berkembang di derah Yogjakarta bagian selatan, bagian tengah di eks-Keresidenan Kedu, dan bagian barat di wilayah eks-Keresidenan Banyumas. Contoh jenis seni musik yang cukup berkembang, di bagian barat khususnya adalah seni kenthongan (thekthek), angklung, dan calung.
Dalam kelompok mayoritas selaput kulit, sumber suara instrumen berasal dari getaran kulit yang dibentangkan pada suatu bingkai dengan cara dipukul. Dalam penggolongan lebih spesifik, kelompok ini masuk jenis alat musik membrafon. Alat musik ini berkembang di daerah Kedu, sekitar Gunung Merapi dan Merbabu. Kesenian yang mayoritas menggunakan alat musik jenis selaput ini sering  diasosiasikan dengan dunia Islam dan/atau keprajuritan era Hindia Belanda. Jenis kesenian yang berkembang tampil dalam bentuk Shalawat, Prajuritan,  dan teater.
Pembahasan lebih lanjut tentang kelompok lainnya yang mayoritas berupa ricikan gamelan disajikan dalam bagian-bagian berikut.

2.      Ricikan Gamelan

Ricikan gamelan sebagian besar terdiri atas alat musik perkusi logam (perunggu, kuningan, atau besi), secara fisik dapat dikelompokkan menjadi:
a.       Kelompok wilahan atau bilah
Kelompok ini tersusun atas rangkaian wilah (bilahan) logam atau kayu (gambang), berjumlah mulai dari dua (gong kemodhong), tujuh (balungan), hingga dua puluh satu (gambang), dengan berbagai bentuk dan ukuran, serta disusun urut dari nada rendah di sebelah kiri hingga tertinggi di sebelah kanan pengrawit. Bilah tersebut ditempatkan di atas resonator baik bertumpu maupun digantung. Permukaan yang ditabuh untuk bilah yang bertumpu pada umumnya akan polos (contoh saron, demung), sedangkan untuk bilah yang digantung (gender, slenthem) akan berbentuk blimbingan. Bentuk blimbingan, atau bermuka jamak mempunyai banyak lingir atau siku.
b.      Kelompok ricikan pencon
Ricikan pencon sering disebut juga ricikan bunderan, karena memang bentuk dasar yang umumnya bundar. Ricikan yang digolongkan dalam kelompok ini adalah semua jenis ricikan yang memiliki pencu atau pencon, seperti beberapa jenis gong (ageng, siyem, suwukan), kempul, kenong, kethuk, kempyang, bonang (panembung, barung, dan panerus), japan dsb dengan cara digantung atau ditempatkan di atas rangka bertali.
Selain terdiri dari dua kelompok ricikan utama di atas, gamelan juga dilengkapi oleh ricikan gesek (rebab), ricikan tiup (suling), ricikan petik (siter dan celempung), dan ricikan selaput kulit (kendhang dengan beragam variasinya). Ada juga perangkat gamelan yang disebut kemanak, alat musik pukul berongga dari logam yang bentuknya mirip buat pisang yang retak (menganga). Kemanak biasanya digunakan pada repertoar karawitan yang bagian vokalnya dominan, seperti pada gendhing bedhayan atau srimpen.
Gamelan sering juga disebut dengan gangsa. Hal ini diperkiran karena perunggu (juga disebut dengan gangsa) merupakan akronim dari paduan tembaGA dan rejaSA (timah putih). Secara kebetulan juga, komposisi campurannya berbanding tiGA (ntuk rejasa) dan sepuluh/ sedaSA (untuk tembaga).
Bahan dasar untuk membuat gamelan pada umumnya adalah perunggu. Paduan logam ini dianggap sebagai bahan yang paling baik untuk membuat gamelan. Logam lain yang juga sering dipakai adalah dari besi/ baja. Namun kualitas suara dinilai kurang begitu baik dan cenderung melengking, tidak seperti gamelan berbahan perunggu yang lebih dalam dan teteg. Gamelan berbahan perunggu juga lebih mahal dari yang berbahan besi. Bahkan satu buah gong ageng berbahan perunggu harganya setara dengan seperangkat gamelan berbahan besi.
Gong menempati peran yang sangat penting dalam gamelan.  Sebuah gong sering diberi nama dan sebutan Kyai atau Nyai. Nama seperangkat gamelan sering juga mengikuti nama gongnya. Suatu perangkat gamelan disebut dengan nama Kyai Udan Asih atau Kyai Sekar Ganesa Lokananta, karena ia memiliki gong dengan nama yang sama. Gong menjadi sesuatu yang sangat berharga selain memang harganya yang mahal, juga karena cara membuatnya sulit dan penuh dengan risiko. Seorang panji gamelan harus cermat dan teliti dalam membuat gong ini.

No comments:

Post a Comment