disarikan dari buku- Bothekan Karawitan I, Rahayu Supanggah-2002
D.
Laras
Laras (tangga nada) dan
irama merupakan dua unsur musikal terpenting dalam karawitan Jawa. Laras
yang digunakan adalah laras pentatonis slendro dan pelog. Dari berbagai unsur
musikalitas yang ada, nampaknya orang jauh lebih mudah untuk mengidentifikasi
asal suatu musik lewat larasnya. Orang dengan cepat dan berani menyebut musik
bangsa tertentu China, Arab, India, Barat ataupun Bali hanya lewat tangga nada
yang digunakan, sebelum mengidentifikasi melalui instrumen atau ritme musik
yang digunakan.
Laras dalam
dunia karawitan Jawa dapat bermakna jamak. Paling tidak ada tiga makna penting
yang dapat diidentifikasikan:
a.
Laras bermakna sesuatu yang bersifat enak atau
nikmat untuk didengar
atau dihayati.
b. Makna sebagai nada, yaitu suar yang telah
ditentukan jumlah frekuensinya (penunggul,
gulu, dhada, pelog, lima, nem, dan barang).
c.
Laras bermakna tangga nada atau scale, yaitu susunan nada yang jumlah,
urutan, dan pola interval nada-nadanya telah ditentukan.
Seperti diketahui
bahwa dalam karawitan Jawa dikenal dua laras utama yang digunakan, yaitu:
a.
Slendro
Sistem urutan nada-nada terdiri
dari lima nada dalam satu gembyang
dengan pola jarak yang hampir sama rata. Susunan dan pola interval itu diatur
sebagai berikut:
I
..... II ..... III ..... IV ..... V ..... i
Sedangkan nada-nada yang digunakan
dalam laras slendro adalah:
1. Penunggul, sering juga disebut dengan barang, diberi simbol 1, dibaca siji atau ji.
2. Gulu atau jangga, diberi simbol 2, dibaca loro
atau ro.
3. Dhada/jaja/tengah, disimbolkan dengan 3,
dibaca telu/lu.
4. Lima, diberi simbol 5, dibaca lima/ ma.
5.
Nem, dengan
simbol 6, dibaca nem.
Selain lima nada pokok di atas, ada beberapa nama tambahan yang juga
sering disebut, seperti:
1.
Barang, merupakan
nada gembyangan dari penunggul, disimbolkan dengan i (angka arab satu dengan
titik di atasnya), dibaca siji atau ji.
2.
Manis, yaitu
nada gembyangan gulu, diberi simbol angka dua dengan titik di atasnya. Manis
hanya digunakan untuk laras kempul dan kenong.
b.
Pelog
Sistem urutan nada yang terdiri
dari lima (atau tuju) nada dalam satu gembyang dengan menggunakan pola jarak
nada yang tidak sama rata, yaitu tiga (atau lima) jarak dekat dan dua jarak
jauh. Susunan dan pola
interval diatur sebagai berikut, dengan struktur jarak: pendek, pendek, jauh,
pendek, pendek, pendek, pendek, jauh.
I
..... II ..... III ............... IV ..... V ..... VI ..... VII ...............
i
Banyak etnomusikolog yang
mengelompokkan karawitan gamelan (Jawa, Sunda, Bali, dan beberapa lainnya di
Asia Tenggara) berlaras pentatonis,
bersistem lima nada. Demikian juga dengan laras pelog dimasukkan ke dalam
sistem ini, walaupun pelog memiliki tujuh nada dalam larasannya. Namun menurut
para musikolog ini, pada hakikatnya pelog hanya menggunakan lima dari tujuh nada
yang terdapat dalam gamelan pelog. Petunjuk yang mendukung pernyataan tersebut
adalah terdapatnya sejumlah ricikan gamelan pelog dalam perangkat gamelan Jawa
yang hanya menggunakna lima nada, contohnya gender barung, gambang, dan siter. Bila pelog dianggap sebagai laras pentatonik
maka pola intervalnya adalah sebagai berikut:
I .....
II ..... III ............... IV ..... V............... i
Adanya dua anggapan yang berbeda,
apakah pelog bernada tujuh atau lima sebenarnya bukanlah sebuah hal yang mesti
dipermasalahkan. Bila merujuk pada repertoar gendhing Jawa (tradisi, klasik)
dari buku Gendhing Jawa, karya Mloyowidodo, sekitar 80 persen gendhing yang
berlaras pelog melibatkan keseluruhan tujuh nada. Dalam penyajiannya memang
sering terdapat beberapa gendhing yang disajikan dalam laras pelog dengan hanya
menggunakan lima nada saja. Hal ini terutama dalam kasus sajian gendhing pelog
hasil alih laras dari slendro. Gendhing tersebut merupakan gendhing yang
“aslinya” disajikan dalam laras slendro kemudian disajikan dalam laras pelog.
Hal seperti ini merupakan suatu fenomena yang lumrah dalam praktik dunia
karawitan Jawa.
Pemilihan dan
penggunaan istilah laras oleh para pendahulu dalam dunia karawitan, nampaknya
bukan suatu langkah yang dilakukan dengan tanpa dasar atau alasan. Laras yang
berhubungan dengan rasa nikmat, nyamleng,
masih merupakan salah satu tuntutan estetik yang diberlakukan dan dibutuhkan
dalam suatu penyajian karawitan. Seimbang (selaras) dan nikmat adalah salah
satu pilihan estetik yang terpenting dalam menyajikan karawitan. Fokus
menikmati sajian karawitan yang dapat didengarkan dan dirasakan sembari leyeh-leyeh telah bergeser secara
estetik terutama yang menyangkut pilihan tempo dan kedinamisan. Hal yang
berkaitan dengan pergeseran selera estetik ini juga terlihat dari perangkat
gamelan yang cenderung “menggelembung”, baik jumlah maupun ukuran ricikan
sendiri. Dengan demikian suara yang keras, ramai, cepat, kontras,
hingar-bingar, dan juga sajian karawitan yang bernuansa spektakuler semakin
akrab dalam dunia karawitan. Peranan ricikan-ricikan garap yang bersuara lembut
semakin berkurang, sementara garapan ricikan balungan, bonang, juga vokal
semakin menonjol.
Laras sangat
erat hubungannya dengan rasa, dan rasa berkaitan dengan selera. Pelarasan suatu
gamelan pada umumnya disesuaikan dengan “selera” masyarakat tempat gamelan
tersebut digunakan. Gamelan sengaja dilaras dengan larasan yang berbeda agar masyarakat mendapatkan karakter-karakter
gamelan yang bervariasi dan kaya. Perbedaan karakter gamelan ini dapat menyebabkan
suatu gamelan bisa sangat cocok atau tidak cocok untuk suatu keperluan
tertentu. Ada gamelan yang cocok untuk wayangan, tapi tidak untuk klenengan,
atau bahkan sangat cocok untuk memainkan gending slendro nem, namun kurang
cocok untuk gendhing-gendhing slendro manyura.
Karakter
gamelan dalam kaitannya dengan laras/larasan ditentukan oleh:
1.
Larasan
(register, derah atau cakupan nada-nada yang digunakan dalam perangkat yang
bersangkutan. Contoh larasan gamelan Yogya cenderung rendah, sementara pesisir
lebih tinggi, artinya ada nada nem gamelan Yogya lebih rendah daripada nada nem
gamelan pesisir. Nada nem biasanya digunakan untuk sebagai titik acuan untuk
melaras keseluruhan ricikan dalam satu perangkat gamelan.
2.
Jangkah, istilah
yang biasanya digunakan dalam dunia karawitan untuk menyebut interval, jarak
antar nada yang satu dengan nada lainnya yang biasanya dapat diukur dengan
satuan cent. Seperti sudah dijelaskan, bahwa antar nada yang
berurutan mempunyai jarak tertentu, ada yang pendek ada yang jauh. Namun
seberapa jauh jarak tersebut tidak ada angka yang pasti, semua bergantung pada
selera si pembuat gamelan atau pemesan maupun daerah/budaya tertentu. Sampai
sekarang masih belum dan semoga tidak akan ada standardisasi larasan gamelan,
walau diskusi tentang itu telah banyak dilakukan. Variasi jangkah namun masih
dalam konteks pola jangkah yang sama dalam pelarasan gamelan Jawa disebut dengan
istilah embat.
Embat bisa disebut
sebagai pergeseran nada-nada, memang agak sulit untuk ditangkap pemaknaannya.
Penjelasan lain mengenai embat, merupakan suatu variasi pola jangkah dalam
laras atau larasan gamelan. Konsep embat dapat bervariasi besarnya, bergantung
pada gembyangan nadanya. Untuk gembyangan nada yang tinggi, selisih frekuensi
nada akan semakin besar. Misalnya pada saron penerus, yang jika dimainkan
sendiri mungkin akan terdengar blero
atau fals, namun ketika sudah disajikan bersama instrumen lain akan terdengar
enak. Gembyangan merupakan jenis nada yang sama dengan frekuensi yang lebih tinggi
atau rendah. Satu gembyangan mengapit empat nada lainnya. Dalam konsep musik
modern mungkin bisa dipadankan dengan oktaf, namun oktaf mengapit tujuh nada,
dan jangkauan nadanya lebih besar dari jangkuan gembyang.
Untuk larasan ricikan
yang gembyangnya rendah (di bawah gender), yaitu beberapa gong, ketepatan
larasan tidak begitu dipermasalahkan. Dari nada gong yang ada, hanya nada 6
yang biasanya dituntut untuk pleng/pas.
Hal yang dipentingkan dari sebuah gong ageng adalah kualitas suara yang mampu
memberikan kesan dan tekanan yang mantap atau berwibawa ketika ditabuh. Dalam
dunia karawitan, gong sangat diperlukan untuk memantapkan rasa seleh. Gong merupakan pemberi keputusan
atau penyelesaian sebuah persoalan yang masih ngambang dan berulang datangnya.
Selain itu gong juga diperlakukan sebagai tanda akhir dari sebuah perjalanan
atau petualangan melodik dan ritmik sebuah gendhing. Oleh karena itu diperlukan
suara yang besar, dalam, mantap, empuk, dan berwibawa.
Besarnya konsistensi
masyarakat karawitan/Jawa untuk tetap mempertahankan sistem laras slendro dan
pelog merupakan suatu fenomena tersendiri. Hal ini cukup unik, karena berbagai
unsur atau aspek musik lainnya telah cukup banyak berubah, seperti tempo,
dinamik, komposisi, instrumen,
idiom, garap, fungsi, peran, dsb. Dewasa ini semakin banyak “usaha” untuk mencampurkan
sistem nada ini dengan musik Barat yang memang bertangga nada diatonis, yang
berujung pada semakin
banyaknya gamelan yang berubah laras. Dari laras slendro/pelog ricikan gamelan
diubah menjadi diatonis mengikuti tempered
scale yang terbakukan.
Titilaras
Titilaras merupakan
istilah yang digunakan di lingkungan karawitan untuk menyebut notasi, yaitu
lambang yang mewakili tinggi dan harga laras (nada). Sampai sekarang, titilaras
yang paling banyak digunakan adalah titik laras Kepatihan, notasi yang “diciptakan” pada tahun 20-an di Kepatihan
Surakarta. Notasi ini mengadopsi angka Cheve
yaitu menggunakan angka dari 1 sampai 7. Tinggi (besaran) angka menunjukkan
tinggi nada, harga nada direpresentasikan oleh garis harga nada yang berwujud
garis datar di atas angka. Setiap garis membagi dua dari harga sebuah nada.
Semakin banyak garisnya
berarti semakin pendek/sedikit harga nadanya. Wilayah gembyang ditandai dengan
penempatan titik di atas atau di bawah nada. Tanda-tanda lainnya praktis
mengadopsi notasi Cheve, kecuali untuk tanda-tanda permainan ricikan yang
sifatnya sangat khusus. Tanda khusus misalnya arah kosokan rebab, tanda-tanda permainan ricikan struktural
(kethuk-kempyang, kenong, kempul, gong, kendhang), ulangan, peralihan gendhing
dsb.
Titilaras atau notasi
dalam dunia karawitan Jawa merupakan sebuah fenomena yang relatif baru.
Karawitan pada awalnya termasuk pada golongan kesenian musik tradisi lisan,
dengan cara menyajikan dan penularannya dilakukan secara lisan. Tradisi lisan
biasanya dilawankan dengan tradisi tulis. Dalam tradisi lisan lebih
mengandalkan pada kemampuan indera pendengaran dalam penyajian, penyampaian,
dan pembelajaran maupun penikmatan seni. Sementara tradisi tulis lebih
menggunakan indera penglihatan.
Notasi karawitan baru
lahir awal abad ke-20 dan penggunaannya masih terbatas sebagai alat pengingat
atau pencatat yang sederhana. Sebagian besar notasi karawitan lama hanya digunakan oleh kalangan lokal bahkan pribadi saja, artinya hanya dimengerti
oleh si pembuat catatan itu sendiri. Notasi-notasi karawitan yang dibuat dan
digunakan sampai sekarang ini sesungguhnya lebih banyak tidak mencerminkan
suara yang dinotasikan. Penggunaan notasi adalah contoh penemuan dan perubahan
cara belajar karawitan yang paling fenomenal. Perubahan yang drastis adalah
bergesernya pelatihan kepekaan telinga yang auditif (dasar tradisi oral)
beralih ke pelatihan kepekaan mata atau visual (pondasi dari musik yang
menganut tradisi tulis).
Notasi gendhing
merupakan bentuk penyederhaan dari permainan ricikan yang sebenarnya.
Penyederhanaan terutama pada ricikan garap yang kemudian disebut dengan
berbagai istilah sebagai sekaran, pola, teknik, cengkok dsb. Notasi tersebut
merupakan hasil “tangkapan” yang dituliskan dalam bentuk simbol-simbol dengan
tulisan. Dalam proses belajar-mengajar, khususnya di institusi pendidikan
notasi ini kemudian secara perlahan menjadi sebuah acuan yang “baku” yang sudah
pasti. Hal yang menjadi masalah adalah proses yang membakukan notasi/ panduan
permainan oleh lembaga yang berwenang karena kepraktisan dan keluwesannya. Semestinya
notasi ini hanya menjadi batu loncatan para siswa agar dapat mengembangkan pola
permainannya sendiri, dengan kreativitas yang dimilikinya. Pembakuan ini
menjadikan penyeragaman dalam permainan/sajian
yang membatasi gaya dan garap karawitan. Pengembangan gaya dan garap
karawitan sudah selayaknya bisa terus tumbuh, sehingga hasilnya dapat memperkaya dan
memperindah taman bunga karawitan atau khazanah musik dunia kita.
No comments:
Post a Comment