Saturday, June 22, 2013

Konsep Dasar Karawitan I (bagian-4)

disarikan dari buku- Bothekan Karawitan I, Rahayu Supanggah-2002


D.     Laras

Laras (tangga nada) dan irama merupakan dua unsur musikal terpenting dalam  karawitan Jawa. Laras yang digunakan adalah laras pentatonis slendro dan pelog. Dari berbagai unsur musikalitas yang ada, nampaknya orang jauh lebih mudah untuk mengidentifikasi asal suatu musik lewat larasnya. Orang dengan cepat dan berani menyebut musik bangsa tertentu China, Arab, India, Barat ataupun Bali hanya lewat tangga nada yang digunakan, sebelum mengidentifikasi melalui instrumen atau ritme musik yang digunakan.
Laras dalam dunia karawitan Jawa dapat bermakna jamak. Paling tidak ada tiga makna penting yang dapat diidentifikasikan:
a.       Laras bermakna sesuatu yang bersifat enak atau nikmat untuk didengar atau dihayati.
b.   Makna sebagai nada, yaitu suar yang telah ditentukan jumlah frekuensinya (penunggul, gulu, dhada, pelog, lima, nem, dan barang).
c.       Laras bermakna tangga nada atau scale, yaitu susunan nada yang jumlah, urutan, dan pola interval nada-nadanya telah ditentukan.

Seperti diketahui bahwa dalam karawitan Jawa dikenal dua laras utama yang digunakan, yaitu:
a.       Slendro
Sistem urutan nada-nada terdiri dari lima nada dalam satu gembyang dengan pola jarak yang hampir sama rata. Susunan dan pola interval itu diatur sebagai berikut:
I ..... II ..... III ..... IV ..... V ..... i
Sedangkan nada-nada yang digunakan dalam laras slendro adalah:
1.       Penunggul,  sering juga disebut dengan barang, diberi simbol 1, dibaca siji atau ji.
2.       Gulu atau jangga, diberi simbol 2, dibaca loro atau ro.
3.       Dhada/jaja/tengah, disimbolkan dengan 3, dibaca telu/lu.
4.       Lima, diberi simbol 5, dibaca lima/ ma.
5.       Nem, dengan simbol 6, dibaca nem.
Selain lima nada pokok di atas, ada beberapa nama tambahan yang juga sering disebut, seperti:
1.       Barang, merupakan nada gembyangan dari penunggul, disimbolkan dengan i (angka arab satu dengan titik di atasnya), dibaca siji atau ji.
2.       Manis, yaitu nada gembyangan gulu, diberi simbol angka dua dengan titik di atasnya. Manis hanya digunakan untuk laras kempul dan kenong.
b.    Pelog
Sistem urutan nada yang terdiri dari lima (atau tuju) nada dalam satu gembyang dengan menggunakan pola jarak nada yang tidak sama rata, yaitu tiga (atau lima) jarak dekat dan dua jarak jauh. Susunan dan pola interval diatur sebagai berikut, dengan struktur jarak: pendek, pendek, jauh, pendek, pendek, pendek, pendek, jauh.
I ..... II ..... III ............... IV ..... V ..... VI ..... VII ............... i
Banyak etnomusikolog yang mengelompokkan karawitan gamelan (Jawa, Sunda, Bali, dan beberapa lainnya di Asia Tenggara) berlaras pentatonis, bersistem lima nada. Demikian juga dengan laras pelog dimasukkan ke dalam sistem ini, walaupun pelog memiliki tujuh nada dalam larasannya. Namun menurut para musikolog ini, pada hakikatnya pelog hanya menggunakan lima dari tujuh nada yang terdapat dalam gamelan pelog. Petunjuk yang mendukung pernyataan tersebut adalah terdapatnya sejumlah ricikan gamelan pelog dalam perangkat gamelan Jawa yang hanya menggunakna lima nada, contohnya gender barung, gambang, dan siter.  Bila pelog dianggap sebagai laras pentatonik maka pola intervalnya adalah sebagai berikut:
I ..... II ..... III ............... IV ..... V............... i
Adanya dua anggapan yang berbeda, apakah pelog bernada tujuh atau lima sebenarnya bukanlah sebuah hal yang mesti dipermasalahkan. Bila merujuk pada repertoar gendhing Jawa (tradisi, klasik) dari buku Gendhing Jawa, karya Mloyowidodo, sekitar 80 persen gendhing yang berlaras pelog melibatkan keseluruhan tujuh nada. Dalam penyajiannya memang sering terdapat beberapa gendhing yang disajikan dalam laras pelog dengan hanya menggunakan lima nada saja. Hal ini terutama dalam kasus sajian gendhing pelog hasil alih laras dari slendro. Gendhing tersebut merupakan gendhing yang “aslinya” disajikan dalam laras slendro kemudian disajikan dalam laras pelog. Hal seperti ini merupakan suatu fenomena yang lumrah dalam praktik dunia karawitan Jawa.
Pemilihan dan penggunaan istilah laras oleh para pendahulu dalam dunia karawitan, nampaknya bukan suatu langkah yang dilakukan dengan tanpa dasar atau alasan. Laras yang berhubungan dengan rasa nikmat, nyamleng, masih merupakan salah satu tuntutan estetik yang diberlakukan dan dibutuhkan dalam suatu penyajian karawitan. Seimbang (selaras) dan nikmat adalah salah satu pilihan estetik yang terpenting dalam menyajikan karawitan. Fokus menikmati sajian karawitan yang dapat didengarkan dan dirasakan sembari leyeh-leyeh telah bergeser secara estetik terutama yang menyangkut pilihan tempo dan kedinamisan. Hal yang berkaitan dengan pergeseran selera estetik ini juga terlihat dari perangkat gamelan yang cenderung “menggelembung”, baik jumlah maupun ukuran ricikan sendiri. Dengan demikian suara yang keras, ramai, cepat, kontras, hingar-bingar, dan juga sajian karawitan yang bernuansa spektakuler semakin akrab dalam dunia karawitan. Peranan ricikan-ricikan garap yang bersuara lembut semakin berkurang, sementara garapan ricikan balungan, bonang, juga vokal semakin menonjol.
Laras sangat erat hubungannya dengan rasa, dan rasa berkaitan dengan selera. Pelarasan suatu gamelan pada umumnya disesuaikan dengan “selera” masyarakat tempat gamelan tersebut digunakan. Gamelan sengaja dilaras dengan larasan yang berbeda agar masyarakat mendapatkan karakter-karakter gamelan yang bervariasi dan kaya. Perbedaan karakter gamelan ini dapat menyebabkan suatu gamelan bisa sangat cocok atau tidak cocok untuk suatu keperluan tertentu. Ada gamelan yang cocok untuk wayangan, tapi tidak untuk klenengan, atau bahkan sangat cocok untuk memainkan gending slendro nem, namun kurang cocok untuk gendhing-gendhing slendro manyura.
Karakter gamelan dalam kaitannya dengan laras/larasan ditentukan oleh:
1.       Larasan (register, derah atau cakupan nada-nada yang digunakan dalam perangkat yang bersangkutan. Contoh larasan gamelan Yogya cenderung rendah, sementara pesisir lebih tinggi, artinya ada nada nem gamelan Yogya lebih rendah daripada nada nem gamelan pesisir. Nada nem biasanya digunakan untuk sebagai titik acuan untuk melaras keseluruhan ricikan dalam satu perangkat gamelan.
2.       Jangkah, istilah yang biasanya digunakan dalam dunia karawitan untuk menyebut interval, jarak antar nada yang satu dengan nada lainnya yang biasanya dapat diukur dengan satuan cent. Seperti sudah dijelaskan, bahwa antar nada yang berurutan mempunyai jarak tertentu, ada yang pendek ada yang jauh. Namun seberapa jauh jarak tersebut tidak ada angka yang pasti, semua bergantung pada selera si pembuat gamelan atau pemesan maupun daerah/budaya tertentu. Sampai sekarang masih belum dan semoga tidak akan ada standardisasi larasan gamelan, walau diskusi tentang itu telah banyak dilakukan. Variasi jangkah namun masih dalam konteks pola jangkah yang sama dalam pelarasan gamelan Jawa disebut dengan istilah embat.
Embat bisa disebut sebagai pergeseran nada-nada, memang agak sulit untuk ditangkap pemaknaannya. Penjelasan lain mengenai embat, merupakan suatu variasi pola jangkah dalam laras atau larasan gamelan. Konsep embat dapat bervariasi besarnya, bergantung pada gembyangan nadanya. Untuk gembyangan nada yang tinggi, selisih frekuensi nada akan semakin besar. Misalnya pada saron penerus, yang jika dimainkan sendiri mungkin akan terdengar blero atau fals, namun ketika sudah disajikan bersama instrumen lain akan terdengar enak. Gembyangan merupakan jenis nada yang sama dengan frekuensi yang lebih tinggi atau rendah. Satu gembyangan mengapit empat nada lainnya. Dalam konsep musik modern mungkin bisa dipadankan dengan oktaf, namun oktaf mengapit tujuh nada, dan jangkauan nadanya lebih besar dari jangkuan gembyang.
Untuk larasan ricikan yang gembyangnya rendah (di bawah gender), yaitu beberapa gong, ketepatan larasan tidak begitu dipermasalahkan. Dari nada gong yang ada, hanya nada 6 yang biasanya dituntut untuk pleng/pas. Hal yang dipentingkan dari sebuah gong ageng adalah kualitas suara yang mampu memberikan kesan dan tekanan yang mantap atau berwibawa ketika ditabuh. Dalam dunia karawitan, gong sangat diperlukan untuk memantapkan rasa seleh. Gong merupakan pemberi keputusan atau penyelesaian sebuah persoalan yang masih ngambang dan berulang datangnya. Selain itu gong juga diperlakukan sebagai tanda akhir dari sebuah perjalanan atau petualangan melodik dan ritmik sebuah gendhing. Oleh karena itu diperlukan suara yang besar, dalam, mantap, empuk, dan berwibawa.
Besarnya konsistensi masyarakat karawitan/Jawa untuk tetap mempertahankan sistem laras slendro dan pelog merupakan suatu fenomena tersendiri. Hal ini cukup unik, karena berbagai unsur atau aspek musik lainnya telah cukup banyak berubah, seperti tempo, dinamik, komposisi, instrumen, idiom, garap, fungsi, peran, dsb. Dewasa ini semakin banyak “usaha” untuk mencampurkan sistem nada ini dengan musik Barat yang memang bertangga nada diatonis, yang berujung pada semakin banyaknya gamelan yang berubah laras. Dari laras slendro/pelog ricikan gamelan diubah menjadi diatonis mengikuti tempered scale yang terbakukan.


Titilaras
Titilaras merupakan istilah yang digunakan di lingkungan karawitan untuk menyebut notasi, yaitu lambang yang mewakili tinggi dan harga laras (nada). Sampai sekarang, titilaras yang paling banyak digunakan adalah titik laras Kepatihan, notasi yang “diciptakan” pada tahun 20-an di Kepatihan Surakarta. Notasi ini mengadopsi angka Cheve yaitu menggunakan angka dari 1 sampai 7. Tinggi (besaran) angka menunjukkan tinggi nada, harga nada direpresentasikan oleh garis harga nada yang berwujud garis datar di atas angka. Setiap garis membagi dua dari harga sebuah nada. Semakin banyak garisnya berarti semakin pendek/sedikit harga nadanya. Wilayah gembyang ditandai dengan penempatan titik di atas atau di bawah nada. Tanda-tanda lainnya praktis mengadopsi notasi Cheve, kecuali untuk tanda-tanda permainan ricikan yang sifatnya sangat khusus. Tanda khusus misalnya arah kosokan rebab, tanda-tanda permainan ricikan struktural (kethuk-kempyang, kenong, kempul, gong, kendhang), ulangan, peralihan gendhing dsb.
Titilaras atau notasi dalam dunia karawitan Jawa merupakan sebuah fenomena yang relatif baru. Karawitan pada awalnya termasuk pada golongan kesenian musik tradisi lisan, dengan cara menyajikan dan penularannya dilakukan secara lisan. Tradisi lisan biasanya dilawankan dengan tradisi tulis. Dalam tradisi lisan lebih mengandalkan pada kemampuan indera pendengaran dalam penyajian, penyampaian, dan pembelajaran maupun penikmatan seni. Sementara tradisi tulis lebih menggunakan indera penglihatan.
Notasi karawitan baru lahir awal abad ke-20 dan penggunaannya masih terbatas sebagai alat pengingat atau pencatat yang sederhana. Sebagian besar notasi karawitan lama hanya digunakan oleh kalangan lokal bahkan pribadi saja, artinya hanya dimengerti oleh si pembuat catatan itu sendiri. Notasi-notasi karawitan yang dibuat dan digunakan sampai sekarang ini sesungguhnya lebih banyak tidak mencerminkan suara yang dinotasikan. Penggunaan notasi adalah contoh penemuan dan perubahan cara belajar karawitan yang paling fenomenal. Perubahan yang drastis adalah bergesernya pelatihan kepekaan telinga yang auditif (dasar tradisi oral) beralih ke pelatihan kepekaan mata atau visual (pondasi dari musik yang menganut tradisi tulis).

Notasi gendhing merupakan bentuk penyederhaan dari permainan ricikan yang sebenarnya. Penyederhanaan terutama pada ricikan garap yang kemudian disebut dengan berbagai istilah sebagai sekaran, pola, teknik, cengkok dsb. Notasi tersebut merupakan hasil “tangkapan” yang dituliskan dalam bentuk simbol-simbol dengan tulisan. Dalam proses belajar-mengajar, khususnya di institusi pendidikan notasi ini kemudian secara perlahan menjadi sebuah acuan yang “baku” yang sudah pasti. Hal yang menjadi masalah adalah proses yang membakukan notasi/ panduan permainan oleh lembaga yang berwenang karena kepraktisan dan keluwesannya. Semestinya notasi ini hanya menjadi batu loncatan para siswa agar dapat mengembangkan pola permainannya sendiri, dengan kreativitas yang dimilikinya. Pembakuan ini menjadikan penyeragaman dalam permainan/sajian  yang membatasi gaya dan garap karawitan. Pengembangan gaya dan garap karawitan sudah selayaknya bisa terus tumbuh, sehingga hasilnya dapat memperkaya dan memperindah taman bunga karawitan atau khazanah musik dunia kita.

No comments:

Post a Comment