Monday, June 24, 2013

Konsep Dasar Karawitan I (bagian-5)

disarikan dari buku- Bothekan Karawitan I, Rahayu Supanggah-2002

E.     Irama

Satu lagi unsur musikal terpenting dalam karawitan Jawa adalah irama atau wirama. Ada sejumlah pengertian mengenai irama. Pertama dalam konteks ruang, irama dapat dimaknai sebagai pelebaran dan penyempitan gatra. Menurut Martapengrawit ada lima (atau enam) jenis irama yaitu gropak, lancar, tanggung, dados, wiled, dan rangkep. Untuk mengidentifikasikannya, digunakan sabetan (pukulan) ricikan saron penerus setiap gatranya. Untuk irama lancar, satu sabetan balungan mendapat satu sabetan saron penerus, diberi tanda dengan 1/1. Dalam satu gatra irama lancar, sabetan saron penerus ada empat kali/ hitungan. Sementara irama tanggung, satu sabetan balungan sebanding dengan dua sabetan saron panerus, tandanya ½. Begitu seterusnya untuk irama dadi ¼, irama wiled 1/8, dan rangkep 1/16. Namun masih ada keraguan terkait apakah gropak dan rangkep masuk kategori irama atau dalam jenis garap.
Pengertian irama dalam konteks waktu, dikenalkan juga dengan istilah laya atau tempo. Dalam dunia karawitan Jawa, sering diidentifikasi waktu perjalanan gendhing, balungan, atau lagu menjadi tiga tingkatan yaitu:
a.       Tamban, atau disebut juga alon untuk tempo lambat,
b.      Sedheng, untuk tempo sedang, dan
c.       Seseg,  untuk tempo cepat.
Dalam suatu penyajian karawitan Jawa, perubahan irama merupakan salah satu bentuk ekspresi baik bagi pengrawit maupun gendhing sendiri. Perubahan tingkatan irama (ruang) hampir selalu diawali atau ditandai dengan perubahan irama (laya) yang berjalan dengan cara semakin, sedikit-sedikit atau gradual. Perubahannya tidaklah drastis, tiba-tiba atau nyengklang. Sementara ketika terjadi perubahan laya, belum tentu diikuti oleh atau akan terjadi perubahan irama (dalam konteks ruang).
Irama (ruang) dalam penyajian gendhing sangat mempengaruhi permainan cengkok dari ricikan gamelan. Setiap ada pergantian irama tentu akan ada pergantian cengkok (gender, rebab, bonang, gambang, siter, dan semua ricikan garap). Cengkokan maupun wiledan dari suatu ricikan sangat bergantung pada irama dan tentunya dari pengrawit sendiri. Ada kecenderungan pada para pengrawit untuk memilih wiledan yang rumit (kompleks) bila gendhing atau lagu disajikan dalam laya seseg dan wiledan yang sederhana serta hati-hati dalam laya yang tamban. Hal ini juga sebagai salah satu alasan untuk menggarap gendhing yang bersifat wibawa, sedih, serius dan semacamnya dengan laya tamban. Sementara untuk menggarap gendhing yang sifatnya sigrak, gobyog, lucu dan sejenisnya dipilih irama seseg. Terkadang juga ada korelasi antar laya dengan volume tabuhannya, laya tamban cenderung menggunakan tabuhan lirih dan seseg dengan tabuhan yang keras.

Kepemimpinan
Irama merupakan nafas dari gendhing, irama juga menjadikan sebuah gendhing atau lagu menjadi hidup. Dalam karawitan, pemimpin irama adalah kendhang. Dengan demikian kendhang bertanggung jawab dalam mengatur nafas gendhing sekaligus memberi kehidupan terhadap gendhing atau karawitan. Dalam mengemban tugas ini, kendhang bekerja sama dengan rebab. Pada tradisi karawitan, rebab disebut sebagai pamurba yatmaka, pemimpin jiwa, roh spiritual gendhing/karawitan. Rebab adalah jiwa dari gendhing. Kendhang lebih berurusan dengan aspek lahir dari gendhing yang menyangkut dengan dinamika dan rasa gendhing. Sementara rebab berurusan dengan aspek jiwa atau roh gendhing, karakter atau watak gendhing. Peran tersebut terutama bagi kendhang sangat jelas ketika penyajian karawitan dalam hubungannya dengan cabang seni lain tari, teater, atau wayang. Fungsi karawitan adalah untuk menghidupkan tarian dan wayang bukan sekadar mengiringinya.
Kepemimpinan penyajian musik dalam orkes musik Barat cenderung menonjolkan sisi komunikasi visual antara pemain dan pemimpin (konduktor). Dalam memimpin konduktor menggunakan kode-kode visual dengan gerakan tangan untuk mengkoordinasikan tim dalam menyajikan permainan musiknya. Konduktor memiliki hak dan kewajiban untuk menuntut setiap musisi agar memainkan instrumennya sampai memenuhi tingkatan tertentu. Tingkatan tersebut sesuai dengan interpretasinya terhadap suatu komposisi musik maupun karakter komponis.
Sementara kendhang sebagai pamurba irama, dalam memimpin rekan-rekannya, ia lebih berperan menjadi pamong, moderator, atau penyelaras. Ia tak sekadar memimpin dari luar lapangan dengan aba-aba visualnya, tetapi ia ikut bermain di dalamnya. Sebagai pemimpin ia harus memberi contoh bagi rekan-rekannya. Contoh tersebut misalnya dalam hal volume tabuhan, seberapa rumit pola tabuhan/ garap dan seberapa cepat irama yang dipilihnya. Dalam sajian karawitan Jawa, tidak dibenarkan untuk nyilep (menenggelamkan) tabuhan dari ricikan lainnya, apalagi terhadap kendhang. Tidak juga dikenal tradisi show-up atau penonjolan diri dalam karawitan tradisi.
Kendhang memimpin sejak sajian dimulai hingga berhenti, bertanggung jawab atas kerampakan dan kerempegan tabuhan. Konsep tersebut bukan sekadar rata atau sama dalam kekerasan atau kecepatan, namun juga mengenai kerjasama dan kebersamaan. Kedinamisan dalam penyajian karawitan ditentukan oleh masing-masing individu ricikan atau pengrawit. Hal ini ditentukan melalui diskusi musikal yang dimoderatori oleh kendhang dengan kode-kode musikalnya, permainan irama, wiled, maupun volume tabuhan kendhang. Ia pada suatu waktu dapat menjadi musisi sekaligus sebagai playmaker, bahkan sebagai jenderal lapangan. Namun ia tetap harus mampu sebagai moderator dan pamomong (pengasuh sekaligus teladan) dengan ikut bermain sambil memperhatikan kapasitas, kemampuan, dan keterampilan pengrawit-pengrawit rekan bermainnya. Selain itu, kendhang juga harus bertanggung jawab atas kerampakan tabuhan, melihat konteksnya: tempat, fungsi, waktu, dan guna, pada saat penyajian karawitan dilakukan.

1 comment: