Thursday, June 20, 2013

Konsep Dasar Karawitan I (bagian-2)


disarikan dari buku- Bothekan Karawitan I, Rahayu Supanggah-2002


B.     Perangkat Gamelan

Di Jawa Tengah terutama dalam karawitan tradisi gaya Surakarta, terdapat berbagai jenis perangkat gamelan yang dibedakan menurut jenis, jumlah, dan komposisi ricikan gamelan yang digunakan dan juga fungsinya dalam masyarakat. Berkait dengan perkembangan zaman, pengembangan fungsi karawitan, selera zaman, serta sifat keterbukaan dan kreativitas seniman pada saat ini yang semakin besar, maka nama komposisi ricikan gamelan dan penggunaannya dalam masyarakat juga berubah dan berkembang hingga nyaris tak terbatas. Berikut akan disampaikan sejumlah nama perangkat gamelan yang pernah ada dan yang sampai sekarang juga masih sering ditabuh dan berfungsi, baik yang baru maupun tidak mengalami perubahan seperti pada masa lalu.

   1.      Gamelan Kodhok Ngorek

Gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh beberapa keraton dan kadipaten. Gamelan dan gendhing Kodhok Ngorek oleh masyarakat umum hampir selalu dikaitkan dengan hajatan atau peristiwa pernikahan. Belum diketahui mengapa gamelan ini disebut dengan Kodhok Ngorek. Di dalam keraton sendiri, fungsi gamelan ini tidak hanya untuk kelengkapan upacara pernikahan saja. Gamelan Kodhok Ngorek hadir dalam berbagai upacara seperti Grebeg  dan saat ada peristiwa kekeluargaan kerabat raja, sebagai tanda wara-wara atau pengumuman tentang adanya kelahiran (juga kematian keluarga raja) perempuan. Kodhok Ngorek sering diasosiasikan dengan sifat kefeminiman. Karakter bunyi dari satu-satunya repertoar gendhing yang dimiliki (Gendhing Kodhok Ngorek) relatif halus dan feminim. Hal tersebut akan lebih jelas jika dibandingkan dengan perangkat gamelan pakurmatan yang sejenis, yaitu Gamelan Monggang yang relatif lebih keras dan maskulin.
Perangkat gamelan ini terdiri dari (a) sepasang kendhang peneteg alit dan peneteg ageng; (b) satu atau dua rancak bonang terdiri dari delapan pencon dengan dua nada berbeda (nada P dan Q), diatur selang-seling dan ditabuh oleh empat orang; (c) satu rancak rijal terdiri dari delapan pencon dengan larasan yang sama (nada R) dan ditabuh oleh empat orang; (d) sepasang gong dalam satu gayor dengan larasan berbeda, besar (nada R) dan kecil (nada Q) ditabuh oleh seorang pengrawit; (e) sepasang penonthong dengan dua pencon (nada S dan T), (f) sepasang rojeh, semacam kerincing; (g) kecer; (h) serancak gender barung berlaras slendro; (i) serancak gambang gangsa (wesi); dan (j) sebuah kenong bernada Q. Dengan berdasar pada kelima nada tersebut, menurut Martapangrawit, gamelan Kodhok Ngorek berlaras slendro. Lima nada pada laras slendro dengan interval nada yang hampir sama rata diduduki dan dibagi bersama-sama oleh berbagai pencon dan bilah di sejumlah ricikan tersebut. Pembagian nadanya dari nada ke-1 sampai ke-5 yaitu nada P, Q, R, S, dan T pada ricikan gamelan yang telah disebutkan sebelumnya.
Kebanyakan orang menyebut perangkat dan juga gendhing Kodhok Ngorek berlaras pelog. Anggapan ini muncul karena di masyarakat umum, gendhing tersebut dimainkan dengan perangkat gamelan ageng yang berlaras pelog dengan hanya gender dan gender panerus yang berlaras slendro. Kebetulan juga lagu pokok gendhing Kodhok Ngorek memang didominasi oleh dua nada yang berurutan (interval dekat) dan berkesan pelog. Berikut adalah lago pokok Kodhok Ngorek pada perangkat gamelan ageng.
                        7.76  7.76  7.76  7.76  untuk gamelan tumbuk nem, atau
                        6.65  6.65  6.65  6.65  untuk gamelan tumbuk lima.

  2.      Gamelan Monggang

Perangkat gamelan ini dikategorikan masih sejenis atau bersaudara dengan gamelan Kodhok Ngorek. Gamelan Monggang dianggap lebih muda daripada gamelan Kodhok Ngorek. Selain dianggap lebih maskulin dari pada Kodhok Ngorek, di dalam keraton perangkat gamelan Monggang memiliki rangking atau kedudukan yang lebih tinggi juga. Kedudukan ini karena fungsi dan peranannya yang lebih banyak, lebih penting, dan lebih tinggi, sehingga lebih banyak/ sering digunakan daripada gamelan Kodhok Ngorek. Perangkat gamelan Monggang memiliki jumlah ricikan (dan penabuh) yang lebih banyak dengan ukuran yang jauh lebih besar (walaupun jenis ricikannya lebih sedikit), sehingga suaranya praktis lebih besar dan keras daripada perangkat Kodhok Ngorek.
Beberapa fungsi dari gamelan Monggang antara lain untuk acara penobatan raja; digunakan pada upacara grebeg; menandai peristiwa penting seperti perjanjian; mengiringi latihan perang prajurit berombak; menandai kelahiran bayi laki-laki dari keluarga raja; mangkatnya raja dsb. Dengan kehadiran dan peranan yang penting pada berbagai jenis acara dan upacara penting , gamelan Monggang menduduki tempat teratas diantara berbagai perangkat gamelan pakurmatan di lingkungan keraton.
Komposisi ricikan dalam gamelan Monggang adalah (a) serancak bonang terdiri dari empat bagian dengan enam pencon, yaitu penitir (nada K atau ji), banggen (nada L atau nem), kenong (nada M atau lima), dan bonang (tiga pencon nada KLM); (b) satu/ lebih rancakan boang dengan 6 pencon terdiri tiga nada K, L, M masing-masing dua pencon; (c) tiga tumpukan kecer; (d) satu gayor penonthong, berlaras tinggi dan rendah; (e) sepasang kendhang paneteg ageng dan alit; (f) satu gayor gong ageng; dan (g) satu rancak kenong (japan).
Gamelan Monggang memiliki tiga nada pokok (disebut juga patigan). Larasan pada Monggang membentuk gendhing Monggang yang terdiri dari nada kesatu (K), ke nada kedua (L), kembali ke nada kesatu (K) lalu ditutup nada ketiga (M) sebagai seleh. Pola tersebut berulang beberapa kali dari awal hingga suwuk.
KLKM  KLKM   KLKM   KLKM   ____ dst, nada M adalah nada seleh, nada K dua nada di atas seleh, dan nada L satu nada di atas seleh.
Gendhing Monggang dapat merupakan ulangan dari siklus 1615, 3231, 5352, 2726, maupun yang lainnya baik dalam larasan pelog ataupun slendro. Penyajian gamelan Monggang dapat dimulai dengan irama seseg (cepat), kemudian tamban atau dados, kembali ke seseg dan suwuk.

      3.     Gamelan Carabalen

Perangkat gamelan jenis ini adalah perangkat gamelan pakurmatan yang paling banyak dimiliki oleh masyarakat, lembaga, atau perorangan di luar keraton. Gamelan Carabalen memilki fungsi yang pasti, yaitu untuk menghormati kedatangan tamu undangan dalam berbagai acara dan upacara. Semua gamelan Carabalen berlaras pelog. Ada sejumlah dugaan mengapa perangkat gamelan ini disebut demikian, salah satunya adalah karena alur lagu dari gendhing-gendhing Carabalen memang memiliki kesan bola-bali, bolan-balen. Dugaan yang lain adalah pola-pola tabuhan yang digunakan, terutama kendhang dan kenut-klenangnya diduga mendapat pengaruh atau meniru cara-cara tabuhan yang terdapat pada kebiasaan karawitan tradisi Bali.
Komposisi ricikan gamelan Carabalen adalah (a) sepasang kendhang, lanang dan wadon; (b) satu rancang gambyong yang terdiri dari empat pencon utama bonang; (c) serancak bonang terdiri dari empat pencon utama dengan dua bagian, kenut (dua pencon lebih besar), dan sisanya klenang; (d) sebuah penonthong; (e) sebuah kenong japan; dan (f) sebuah kempul dan gong dalam satu gayor. Selain itu juga ada perangkat gamelan Carabalen yang disajikan dalam dalam dua “pathet” atau dua larasan yaitu tinggi dan rendah, sering juga disebut sebagai pelog barang dan pelog nem. Untuk itu, bonang dan gambyongnya memiliki enam buah pencon, dengan dua pencon tambahan. Gamelan Kodhok Ngorek disebut juga sebagai gamelan dua nada, sedangkan gamelan Monggang sebagai gamelan patigan (tiga nada), sehingga Carabalen juga mempunyai sebutan serupa yaitu gamelan empat nada.
Perangkat gamelan Carabalen memiliki repertoar gendhing yang lebih banyak daripada gamelan Kodhok Ngorek dan Monggang. Gendhing-gendhing tersebut adalah (a) Lancaran Gangsaran; (b) Lancaran Klumpuk; (c) Lancaran Glagah Kanginan; (d) Ladrang Bali-Balen; (e) Ketawang Pisan(g) Bali; dan (f) Ladrang Babad Kenceng. Gendhing tersebut dapat disajikan secara mandiri atau dapat juga dirangkai. Rangkaian yang biasa dilakukan adalah Gangsaran dengan (minggah) Pisan Bali, Klumpuk dengan Bali-Balen, dan Glagah Kanginan dengan Babad Kenceng, namun pilihan pasangan lagu dalam penyajiannya bukan hal yang baku. Penyajian dilakukan dari lancaran kemudian ke ladrang/ ketawang pasangannya, kemudian kembali ke lancaran dan suwuk.

      4.     Gamelan Sekaten

Gamelan Sekaten adalah satu-satunya perangkat gamelan Jawa yang dianggap terkait langsung dengan upacara Islam, yang pada masa kedatangan Islam dipakai sebagai media syiar. Gamelan jenis ini ditabuh pada pekan sekatenan atau grebeg Mulud. Gamelan sekaten memiliki ricikan dengan dimensi yang paling besar dan paling berat diantara perangkat gamelan yang ada. Gamelan ini sengaja dibuat dengan ukuran yang besar dengan pertimbangan untuk dapat menghasilkan suara yang keras sehingga mampu menarik massa sehubungan dengan fungsinya sebagai sarana dakwah.
Komposisi ricikan yang digunakan pada perangkat gamelan Sekaten di Keraton Surakarta adalah (a) satu rancak bonang yang terdiri dari ricikan bonang dan panembung; (b) dua rancak sarong demung; (c) empat rancak saron barung; (d) dua rancak saron panerus; (e) satu rancak kempyang dengan dua pencon berlaras sama; (f) sebuah bedhug yang digantung pada satu gayor; dan (g) sepasang gong besar, digantung pada satu gayor.
Semua perangkat gamelan Sekaten dibuat dari perunggu dan dilaras pelog. Perangkat gamelan ini nampaknya memang dirancang untuk tidak melibatkan vokal. Hal tersebut dapat dilihat selain dari volume suaranya yang keras sehingga menutup suara manusia, juga larasan gamelannya yang kebanyakan tidak berada dalam wilayah jangkauan (ambitus) suara normal kebanyak pesindhen Jawa.
Gamelan Sekaten di lingkungan Keraton Surakarta memiliki repertoar gendhing yang relatif banyak, hingga ratusan. Dari sekian banyak gendhing tersebut terdapat tiga atau empat gendhing wajib. Gendhing yang harus disajikan pada setiap saat/ hari selama pekan sekaten untuk mengawali sajian sekaten dengan menuruti pathet dan waktu penyajian. Empat gendhing wajib tersebut adalah Ladrang Rangkung dan Rambu pada pathet lima, Ladrang Barang Miring pada pathet barang, serta Ladrang Gana pelog nem yang sudah jarang ditabuh pada sekarang ini.
Keempat jenis perangkat gamelan yang sudah dibicarakan; Kodhok Ngorek, Monggang, Carabalen, dan Sekaten merupakan jenis-jenis gamelan pakurmatan yang digunakan untuk menghormati sesuatu, suatu peristiwa atau seseorang, lembaga, dan sebagainya. Berkait dengan fungsi dan peran masing-masing, perangkat gamelan tersebut umumnya hanya dimiliki oleh lingkungan keraton atau lembaga tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan. Untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan sarana ekspresi kesenian, sekitar tahun 70-an Pusat Kesenian Jawa Tengah, juga ISI Surakarta, dan ISI Yogyakarta mulai membuat salinan perangkat gamelan tersebut.

  5.      Gamelan Ageng

Perangkat gamelan ini dapat dikatakan sebagai perangkat gamelan “standar” yang paling banyak ditemui dalam keseharian untuk berbagai keperluan. Gamelan ageng terdapat dimana-mana, tidak hanya di Jawa atau Indonesia, namun sudah tersebar ke seluruh dunia. Disebut sebagai gamelan standar karena perangkat gamelan ageng adalah perangkat gamelan yang paling “lengkap” jenis ricikannya, paling populer, paling banyak tersebar, paling luwes, dan paling banyak digunakan untuk berbagai keperluan. Dari perangkat gamelan ageng, dapat “dibuat” perangkat-perangkat gamelan lainnya dengan komposisi, nama, dan kegunaan yang bervariasi. “Keluarga” atau sempalan dari gamelan ageng antara lain perangkat klenengan, wayangan, gadhon, cokekan, siteran, dan lainnya.
Perbedaan dari perangkat gamelan klenengan, wayangan, dan gadhon sebenarnya tidaklah terlalu signifikan. Perbedaan yang jelas antara gamelan wayangan dengan klenengan atau gadhon justru dilihat dari garap gendhingnya. Garap atau cara menabuh gendhing meliputi penggunaan pola tabuhan; irama atau laya (tempo); dan yang paling jelas pada fungsi atau penggunaannya. Gadhon atau klenengan untuk penyajian karawitan “bebas”  atau konser, sedangkan gamelan wayangan untuk menyertai/ mengiringi penyajian wayang kulit purwa.
Cokekan merupakan semacam musik kamar (chamber music) gamelan Jawa. Perangkat cokekan lebih luwes dengan pilihan tiga sampai tujuh ricikan gender, rebab, kendhang, gambang, siter, clempung, slenthem, gender penerus atau suling dll. Sedangkan perangkat siteran terdiri dari ricikan kawat atau siter berbagai jenis, seperti celempung, siter kecil (panerus), slenthem kawat (sudah sangat jarang dijumpai), kendhang, dan satu set gong bumbung atau kemodhong.
Ricikan-ricikan pada perangkat gamelan ageng diantaranya: 
a.       Rebab: satu atau dua buah rebab, biasanya rebab plonthang untuk slendro dan rebab byur untuk pelog.
b. Kendhang: terdiri dari satu kendhang ageng, kendhang ketipung, kendhang penunthung, kendhang ciblon, dan kendhang wayangan.
c.   Gender (barung): tiga buah masing-masing berlaras slendro, pelog nem (bem), dan pelong pitu (barang), berbilah 12 sampai 14 buah.
d.     Gender panerus: komposisi seperti gender barung dengan nada satu gembyang lebih tinggi.
e.   Bonang barung: satu rancak bonang slendro dengan 10 atau 12 pencon, dan satu rancak bonang pelog berkumlah 14 pencon.
f.        Bonang panerus: komposisi seperti bonang barung, dengan nada satu gembyang lebih tinggi.
g.       Gambang: masing-masing satu rancak gambang slendro, pelog nem, dan pelog barang, berbilah antara 18 sampai 21 buah.
h.      Slenthem: satu slenthem slendro dan satu pelog, masing-masing berbilah tuju.
i.         Demung: masing-masing satu demung slendro dan pelog, berbilah tuju.
j.   Saron barung: dua saron slendro dan dua pelog, berbilah tuju, kadang salah satu berbilah hingga sembilan yang biasanya untuk keperluan wayangan.
k.       Saron panerus (peking): satu saron panerus slendro dan satu pelog, berbilah tuju.
l.        Kethuk-kempyang: satu set untuk slendro dengan kempyang (laras barang) dan kethuk (gulu);  dan satu set pelog (kempyang berlarang nem tinggi, kethuk berlaras nem rendah).
m.    Kenong: tiga sampai enam pencon untuk slendro dan tiga sampai tujuh untuk pelog.
n.      Kempul: tiga sampai enam pencon untuk slendro dan tiga sampai tujuh untuk pelog.
o.   Gong suwukan: satu sampai dua pencon untuk slendro dan satu sampai tiga pencon untuk pelog. Suwukan dengan laras barang sering disebut dengan gong siyem.
p.      Gong ageng/ gedhe: satu sampai tiga gong berlaras nem, lima, atau tiga rendah.
q.   Siter atau celempung: satu siter atau celempung slendro dan satu pelog. Sekarang terdapat satu siter yang dapat digunakan untuk slendro dan pelog. Siter two in one ini disebut siter wolak-walik.
r.        Suling: satu suling berlubang empat untuk slendro dan berlubang lima untuk pelog.

  6.      Pengelompokkan ricikan dalam gamelan ageng

Terdapat banyak cara untuk mengelompokkan ricikan gamelan dalam perangkat gamelan ageng, bergantung dari alasan, cara pandang, kebutuhan, maksud dan tujuan. Dalam dunia musik, cara pengelompokkan yang banyak digunakan adalah dengan berdasarkan sumber bunyinya. Pengelompokkan inilah yang paling netral dan paling mudah untuk dilakukan, karena mudah teramati oleh mata dan telinga tanpa harus mempertimbangkan konsep musikal. Namun hampir semua ricikan gamelan merupakan musik perkusi yang menyebabkan pengelompokkan dengan cara ini tidak banyak memberikan penjelasan pada perangkat gamelan.
             i.         Bentuk ricikan
Cara berikutnya adalah pembagian menurut para pandhe gamelan yang berdasarkan bentuk ricikan, yaitu bilah dan pencon. Mereka nampak tidak begitu menghiraukan adanya ricikan rebab, kendang, siter dsb, karena ricikan tersebut memang tidak harus dan biasanya juga tidak dibuat oleh para pandhe gamelan. Pembagian berdasarkan cara ini sudah dijelaskan pada bagian awal.
             ii.       Irama dan lagu
Dalam konsep musikologis umum, unsur musik yang paling penting adalah lagu dan irama. Kemungkinan besar hal tersebut adalah terjemahan dari melody dan rhytm pada konsep musik Barat . Dalam karawitan, ricikan gamelan ageng dapat dibagi menjadi kelompok ricikan lagu dan ricikan irama. Masing-masing kelompok dibagi menjadi dua yaitu pamurba (pemimpin), dan pamangku (pengemban tugas) yang membantu atau mengikuti ricikan pamurba.
Dalam kelompok ricikan lagu, pamurba diserahkan kepada rebab, sedangkan pamurba irama dipercayakan kepada kendhang.  Kemudian muncul juga istilah pamurba yatmaka (pemimpin jiwa), jabatan ini diberikan kepada rebab yang dianggap sebagai jiwa dari karawitan. Ketika rebab beralih jabatan menjadi pamurba yatmaka, jabatan yang kosong sebagai pamurba lagu diisi oleh bonang barung. Namun demikan tidak ada istilah pamangku yatmaka, sehingga rebab seorang diri memimpin jiwa karawitan.
Pengelompokan untuk ricikan lagu masih masuk akal, sebab beberapa ricikan yang masuk kelompok ini memang memainkan atau memiliki lagu. Namun ketika menyebut ricikan irama, tidak semua memainkan perannya dalam tempo, apalagi pengendali irama. Ritme adalah bagian dari lagu, lagu juga tunduk pada irama. Penggolongan irama merupakan penyederhanaan bahwa kelompok istrumen yang tidak memainkan lagu kemudian dimasukkan saja ke dalam kelompok irama. Lagu dan ritme, termasuk tempo dalam permainan musik karawitan merupakan dua unsur yang musik yang menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Pada suatu kasus, karawitan tidak mempermasalahkan konsep ritme seperti dalam konsep musik Barat. Sementara konsep irama memiliki peran dan implikasi yang sangat luas dalam dunia karawitan. Pengelompokan dengan dasar ini pun nampaknya masih perlu dipertimbangkan kembali.
               iii.      Peran dan/atau Kedudukan
Pembagian ricikan selanjutnya menurut para praktisi/ pengrawit adalah berdasarkan peran atau kedudukannya dalam karawitan. Pengelompokkan dilakukan menjadi tiga: ngajeng (depan) dan wingking (belakang), dan kadang-kadang juga tengah. Pembagian ini lebih luwes bergantung peran suatu ricikan dalam karawitan dan hubungan dengan cabang seni lain. Sebagai contoh dalam klenengan, gong ditempatkan dalam kelompok wingking, namun ketika perangkat gamelan melayani kepentingan wayangan, gong beralih pada posisi tengah.
Contoh pembagian kelompok ricikan dalam keperluan klenengan (a) ngajeng: rebab, kendhang, gender barung, bonang, sindhen; (b) tengah: slenthem, demung, saron, peking, gambang, gerong, gong, kenong, siter; (c) wingking: bonang panerus, gender panerus, kethuk-kempyang, suling.
               iv.     Garap
Konsep pembagian yang cukup bersesuaian salah satunya adalah dengan pertimbangan garap. Berikut adalah pembagiannya:
a.       Ricikan balungan, yaitu ricikan-ricikan yang pada dasarnya memainkan atau permainannya sangat dekat atau sangat mendasarkan pada lagu balungan gendhing. Ricikan yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya adalah slenthem, demung, saron, peking, dan bonang panembung.

b.   Ricikan garap, yaitu ricikan yang menggarap gendhing. Acuan yang digunakan dapat balungan gendhing, dapat juga alur lagu vokal atau yang lain. Permainan ricikan ini pada dasarnya menggunakan pola-pola lagu atau melodik dan/atau pola ritmik yang biasa disebut dengan cengkok, sekaran dan/atau wiled. Bagi yang tidak biasa dengan dunia praktik karawitan, biasanya menemui kesulitan untuk menghubungkan permainan ricikan-ricikan ini dengan lagu balungan gendhing. Yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya adalah rebab, gender barung, gender panerus, bonang barung, bonang panerus, gambang, siter, suling, dan vokal (sindhen dan gerong).

c.      Ricikan struktural, yaitu ricikan yang permainannya ditentukan oleh bentuk gendhing. Dapat juga dibalik, permainan antar instrumen struktural yang membangun pola, anyaman, jalinan ritmik maupun nada yang kemudian membangun atau memberi bentuk atau struktur pada gendhing. Ricikan dalam kelompok ini adalah kethuk-kempyang, kenong, kempul, gong, engkok, kemong, kemanak, kecer dsb.


v.      Lainnya

Masih terdapat pengelompokan lain yang tidak diterangkan lebih rinci. Pengelompokan dari cara menabuh (dijagur, dikebuk, dipetik, dsb); bahan (kayu, perunggu, tali, kulit, dsb); tingkatan volume suara (lanang, wadon); dan konsep lainnya.

No comments:

Post a Comment